Karena Ngaliyan Aku Bertahan

Aku tak pernah bermimpi soal Ngaliyan. Sebuah kecamatan yang berada di kota semarang. Mungkin jarang orang yang tahu tentang Ngaliyan, karena tak ada sesuatu yang istimewa di sana. Ngaliyan bukanlah apa-apa, tapi Naliyan sangat bermakna. Berawal dari kehidupanku dan kesendirianku, disana aku menemukan banyak saudara. Ya, saudara.. memang kita tidak dilahirkan dari rahim biologis yang sama, tapi kita lahir dari rahim ideologis yang sama di sebuah tempat yang bernama Ngaliyan.
Ngaliyan bukanlah apa-apa tanpa kita, dan kita bukanlah siapa-siapa tanpa Ngaliyan, jadi keberadaan kita semacam menjadi simbiosis mutualisme. Ngaliyan terkenal sebagai sentrumnya gerakan mahasiswa, jika kita berbicara lingkup Semarang. Ngaliyan selalu mendatangkan masa paling banyak jika ada unjuk rasa. Ini bukanlah apa-apa kawan..kita hanya berusaha untuk selalu mengeja lingkungan sekitar kita.
Ada juga yang mengatakan, Ngaliyan tak pernah tidur. Ya..karena kita masih akan melihat kehidupan di angkringan-angkringan dari malam-tengah malam-hingga fajar. Di tempat-tempat itulah kami membangun keluarga, terkadang dengan obrolan serius seperti membincang politik, membincang masalah bangsa dan negara serta kehidupan di kampus tercinta. Terkadang juga kita hanya sebatas bercerita, yang sebentar-sebentar akan terdengar kelakar tawa dari kerumunan kita. begitulah Ngaliyan dengan kehidupan malamnya.
Berbicara Ngaliyan, juga berbicara masalah senja. Kita akan mendapati senja yang indah di sudut kampus, dengan posisi tanah yang lebih tinggi dari jalan raya, disana kita menikmati sang jingga yang hendak kembali ke peraduannya. Kami duduk melingkar dengan white bord dan beberapa buku bacaan. Ini kegiatan yang tak pernah ketinggalan dari sudut-sudut ngaliyan, selalu ada forum-forum diskusi tentang masalah apapun. Karena kita tak pernah menabukan masalah apapun untuk di diskusikan, semuanya adalah ilmu begitulah kira-kira prinsip yang kita pegang.
Kita tinggalkan sejenak kehidupan intelektual, kita akan menuju kehidupan sosial. masyarakat Ngaliyan walau sudah terbilang sedikit modern, tapi masih memegang nilai-nilai persaudaraan. Asalkan kita ramah, mereka akan bersikap baik kepada kita. hal ini sudah saya buktikan di sekitar lingkungan kos saya yang itu adalah kompleks perumahan. Dengan keramahan-keramahan itu, bertambahlah keluarga saya di Ngaliyan.
Ketika menginjakkan kaki pertama kali di Ngaliyan, aku masih ingat betul, aku tak kenal siapa-siapa. Namun ketika akan meninggalkan Ngaliyan tanpa sadar aku harus berpamitan pada banyak orang. Dari sana aku sadar aku telah menemukan keluarga-keluarga baru di tempat kecil ini.
Kehidupan intelektual, dan juga sosial tak lengkap jika tanpa kehidupan spiritual. Dalam hingar-bingarnya kota semarang, Ngaliyan punya sisi spiritual yang tinggi. Ketika menjalani hidup dari awal di Ngaliyan aku berpegang pada “dzikir, fikir, amal sholih” bahwa kehidupan tidak boleh lepas dari tiga elemen itu. Jika hanya mengandalkan intelektual saja tanpa spiritual tak akan bisa melahirkan amal sholih. Dari situ saya sadar harus melengkapi aspek spiritual. Dari kebutuhan ini aku mengenal dua pribadi yang sudah seperti orang tua sendiri, aku memanggilnya Abah dan Umik, di tempat beliaulah spiritualku di carge.
Tak hentinya beliau selalu memberi petuah, layaknya kepada anaknya sendiri. Karena tidak dipungkiri kehidupan anak muda adalah kehidupan labil, yang harus selalu di kontrol. Dan sebagai penyeimbang adalah nasehat-nasehat dari Abah setiap malam selasa dan malam kamis.

Begitulah Ngaliyan, ketika aku tinggalkan pada 29 Januari 2015 yang lalu, tepat pada sebuah senja ku akhiri perjalanan panjangku di Ngaliyan, ya...sekitar empat setengah tahun aku di sana, tentunya dengan suka duka. Karena begitulah takdir hidup ini, terkadang ada suka terkadang ada duka, namun itu semua tergantung bagaimana kita memandangnya dengan bijak, bahwasanya hidup harus kita pandang dari berbagai sisi, agar kita tidak menjadi orang-orang yang picik. Terimakasih Ngaliyan, karenamu aku mampu bertahan. 

Hidupmu Pilihan atau di-Pilih-kan?

Jika berbicara aliran dalam teologi kita mengenal adanya paham jabariyah, yang beranggapan apa yang terjadi adalah sudah merupakan takdir ketentuan Tuhan, paham ini juga sering disebut fatalisme. Paham ini sering dilawankan dengan Qadariyah, yang beranggapan bahwa hidup kita tak hanya ketetapan Tuhan, namun juga ada campur tangan manusia. Sehingga kita tidak bisa semata-mata menyerahkan bahwa apa yang terjadi adalah takdir ataupun ketetapan Tuhan.
Namun, dalam hidup ini terkadang kita meresa menjalani sesuatu yang jika meminjam diksi anak sekarang adalah “enggak gue banget” artinya kita menjalani hidup yang sebenarnya tidak menjadi keinginan kita, namun kita masih tetap istiqomah di situ, dan bahkan melanjutkan kehidupan yang “enggak gue banget” tersebut. Dari fenomena tersebut, terkadang saya berfikir, apakah saya harus jabariyah menyikapi kehidupan yang seperti itu. Adanya keinginan untuk berpindah haluan nampaknya sulit, karena ibarat kata kita telah berjalan pada suatu lorong yang gelap dan panjang, kita tak tahu dimana letaak cabang pada lorong tersebut. Harus ada ledakan besar untuk kita tahu, dan keluar dari jalur awal kita. Dalam analogi ini, sebenarnya kita bisa keluar dari hidup yang menurut kita “enggak gue banget” ini dengan usaha yang sangat-sangat besar.
Masalah sudah teridentifikasi, solusi sudah ada. Namun untuk memulai solusi tersebut tak semuanya lancar. Ada berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi dalam mencapai solusi tersebut. Diantaranya keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
Sebenarnya, yang menjadi pembahasan tulisan ini tak jauh dari kehidupan seputar pendidikan. Kita sedang membincang linearitas, namun bukan linearitas studi pertama kita dengan studi ke dua dan seterusnya yang telah kita lalui. Kita sedang membincang linearitas antara studi yang kita lakoni dengan hati kita. Dalam studi yang kita lakoni saat ini, mungkin orang-orang melihat kita sangat enjoy dan bahkan menguasai apa yang kita lakoni.
Tidak ada yang mau tahu, apakah yang kita lakoni saat ini, linear dengan hati dan perasaan, dan saya rasa tidak!! ada keinginan untuk merubah jalan, karena kita tahu, bahwa untuk menemukan lorong yang lain harus ada ledakan besar. Dalam penciptaan ledakan besar tersebut kita membutuhkan piranti, dan piranti yang kita butuhkan adalah dukungan dari ketiga sektor tersebut, yaitu keluarga, sekolah dan juga masyarakat. Realitas, tak semuadah apa yang diteorikan, itu sudah jelas. Dan ketika telah demikian halnya kita hanya bisa berkata, ini adalah takdir Tuhan! Jabariyah lagi kan...


Jilbab Syar’i; yang bagaimana?

Jilbab atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah hijab sudah merupakan bagian dari fashion bagi perempuan. Banyaknya fariasi jilbab membuatnya semakin banyak diminati anak muda, apalagi ditambah dengan banyaknya tutorial hijab yang akan merubah penampilan kita menjadi semakin trendy dan kekinian. Ada berbagai macam tutorial hijab di internet, dari jilbab yang digunakan untuk kuliah, hang out, sampai ke acara resmi seperti pesta. Selain karena modelnya yang semakin banyak, peran pablik figure juga sangat berpengaruh dalam menghijabkan Indonesia.
Jilbab saat ini tak seperti masa lalunya, dimana orang yang mengenakan jilbab dianggap tidak gaul, kampungan, dan hanya dikenakan oleh orang tua. Karena memang jika kita menilik sejarah, di Indonesia pada zaman dahulu penutup kepala disebut kerudung. Baru tahun 1980 an penutup kepala ini disebut jilbab. Sedangkan pada masa Nabi Jilbab adalah merupakan pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Sebenarnya tidak kita temukan batas aturan yang jelas mengenai jilbab ini dalam Al-Qur’an, sehingga orang-orang yang berjilbab mengekspresikannya dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia misalnya, ada banyak jenis jilbab yang dikenakan perempuan. Ada yang mengenakan jilbab yang besar dengan bahan tebal (tidak transparan) serta bercadar, ada yang menggunakan jilbab dengan model putar sana-putar sini agar terlihat lebih trendy fashionable dan tentunya kekinian, ada juga yang menggunakannya dengan simpel dan ala kadarnya yang penting esensinya adalah menutup aurat.
Islam sebagai agama mempunyai dua sisi, yaitu sisi universal dan sisi lokal. Sisi universal adalah wahyu yang turun dari Allah SWT. Sedangkan pemahaman atas wahyu tersebut adalah merupakan sisi lokal. Begitupun dalam Islam ada yang namanya syari’at dan ada pula yang namanya fiqh. Dalam syari’at semuanya bersifat pasti, ajeg dan tidak boleh diubah-ubah. Berbeda halnya dengan fiqh yang masih bisa diinterpretasikan, sehingga ada berbagai macam ketentuan hukum yang dihasilkan.

Dalam bahasan ini, menutup aurat adalah merupakan syariat. Yang perintahnya telah disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat  al-ahzab ayat 59 dan An-nuur ayat 30-31. Namun bagaimana cara menutup aurat tidak dijelaskan secara rinci oleh Al-Qur’an, maka disinilah keistimewaannya. Setiap lokus memiliki ekspresinya masing-masing dalam mengejawentahkan perintah menutup aurat ini. Berbagai macam dan jenis kerudung pun sah digunakan jika esensinya adalah menutup aurat. Karena kerudung tidak hanya menyangkut masalah etika, tetapi juga masalah estetika.

Disaat Peminpin itu adalah “ah sudahlah”

كلكم راء وكل راء مسئول عن رعيته

"Kullukum Ra'in Wa Kullu Ra' in Mas'ulun 'An Ra'iyyatihi"


”Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” Begitulah hadis yang disampaikan Rasulullah. Dalam hadis tersebut tersirat sebuah tanggung jawab yang besar bagi seorang peminpin. Dan ketika kita bertanya, siapakah peminpin tersebut, maka jawabannya adalah masing-masing dari kita adalah pemimpin.
Manusia dihadirkan ke bumi berkedudukan sebagai abdullah dan khalifah fil ardh. Maka, dengan menyandang dua predikat itu manusia harus bisa bersikap seimbang. Seimbang disini artinya antara ia sebagai hamba dan pemimpin tidak boleh berat sebelah. Sebagai pemimpin manusia harus bisa bersikap bijaksana, sedangkan sebagai hamba manusia hanya bisa beribadah serta tawakkal kepada Allah. Dua predikat tersebut bagaikan satu keping mata uang yang keduanya saling terkait dan susah dipisahkan.
Sebagai pemimpin manusia berhak mengatur, menetapkan, serta membuat peraturan. Namun dibalik itu ada predikat seorang hamba yang daripadanya manusia harus terikat dengan tanggung jawab dengan Sang Khalik terkait dengan perbuatan yang ia lakukan. Menciptakan pemimpin yang baik harus kita mulai dari diri kita msing-masing, manakala baik dan selesai dalam ranah masing-masing individu maka tidak akan ada istilah krisis kepemimpinan, seperti yang dihadapi saat ini.
Kita tak perlu jauh-jauh untuk menyoroti pemimpin negara atau pemimpin-peminpin yang berderet di struktural kelembagaan. Kita amati saja disekitar kita, bagaimaan orang-orang menjadi pemimpin atas dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Banyak yang melakukan pencitraan didepan khalayak, agar ia dielu-elukan sebagai orang yang hebat. Namun dibalik itu ada orang hebat lain yang berada di balik layar, yang berperan sebagai sutradara. Pemimpin yang seperti aktor ini lebih tepatnya tak disebut pemimpin, karena ia hanya memainkan peran pemimpin.
Pemimpin yang baik juga harus mampu menjadi pendengar yang baik. Artinya sebelum keputusan ia ambil, alangkah lebih baiknya menampung segala macam bentuk aspirasi yang diusung oleh masyarakatnya. Agar dalam kebijakan yang ditetapkan dapat membawa maslahat bagi khalayak umum.
Banyak orang yang gagal paham ketika memaknai arti pemimpin. Mereka menganggap pemimpin adalah presiden, pemimpin adalah gubernur atau bahkan bupati. Orang-orang lupa bahwa masing-masing dari mereka adalah pemimpin yang juga harus mempunyai jiwa kepemimpinan. Agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan juga bangsa.

Sibuk mencela, sibuk mengkritik sudah tidak jamannya lagi. Waktunya kita berbenah mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini. Memperbaiki lebih baik daripada hanya sekedar sikap menyesali. Kita tumbuhkan kesadaran diri, bahwa kita adalah pemimpin yang baik dan bijaksana yang mampu berkontribusi untuk negeri, bukan hanya pemimpin yang “ah sudahlah” 

Setiap dari Kami adalah Pahlawan Masa Kini

10 November 2015 sudah banyak yang berbeda dengan 10 November 1945 di kota pahlawan kala itu. Sebuah peristiwa yang memuncak setelah terbunuhnya Brigadir Jendral Mallaby. Tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar dan menghancurkan gedung-gedung pemerintahan Surabaya. Jika kita membincang Surabaya pada masa itu, kita akan teringat pada sosok bung Tomo yang sangat heroik menyuarakan perlawanan. Gugurnya para pejuang pada 10 November tersebut kemudian dikenang sebagai hari pahlawan.
10 November saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik dari tujuh puluh tahun silam. Kita tak lagi berjuang dengan fisik, kita tak lagi harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan kehormatan bangsa. Kita hanya perlu berkarya dan mengharumkan nama bangsa kita. Jika kita flash back ke sejarah masalalu, kita bisa membandingkan apakah yang kita lakukan saat ini sudah sebanding dengan apa yang dilakukan para pahlawan kita terdahulu. Untuk mengenang dan meneladani semangat perjuangan mereka maka kita harus melanjutkan perjuangan mereka. Karena kata sang proklamator kita bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Perjuangan kita saat ini tentunya dalam ranah dan aspek yang berbeda dengan perjuangan masa lalu. hari ini setiap kita adalah pahlawan, anggap saja demikian. Agar masing-masing dari individu mempunyai tanggung jawab terhadap kemajuan bangsa. Masyarakat Indonesia semuanya adalah pahlawan, pahlawan bagi bangsanya. Pelajar berjuang dalam aspek pendidikan, pengusaha dan wiraswasta berjuang dalam bidang ekonomi, para petani nelayan berjuang dalam bidang ketahanan pangan, semua lapisan masyarakat Indonesia adalah pahlawan, pahlawan dalam bidangnya masing-masing.

Menanamkan spirit kepahlawanan pada setiap individu akan berdampak pada sinergitas gerakan dari berbagai elemen masyarakat. Sehingga dalam masing-masing sektor yang kita geluti, semua aktivitas yang kita lakukan tak hanya sebatas masalah urusan “sekedar cukup untuk hidup”. Lebih dari itu, kita dalam keberbedaan yang ada harus mampu menguasai dunia. Sudah tidak saatnya lagi kita membicarakan konflik, korupsi, dan juga tindakan kriminalitas karena yang demikian itu adalah tindakan-tindakan yang menciderai nilai kepahlawanan. Hal-hal yang demikian hanya bisa merusak citra bangsa, dan para pelaku tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut belum mampu memahami dan mengaplikasikan nilai kepahlawanan.