Belajar Sejarah

 10 Maret 2015, 3 SKS ke dua pun di mulai. Hari ini dosen datang agak telat, dikarenakan suatu hal. Ini adalah kali pertama presentasi dilakukan dengan tema pembahasan kodifikasi mushaf Utsmani. Sebenarnya ada dua pemakalah, namun hanya satu yang bisa menghantarkan kita menuju pembahasan. Presentasi perdana dimulai, kondisi audience agak tidak kondusif karena tidak ada paper yang mereka pegang, juga tak ada slide yang harus mereka amati, hanya ada suara dari sang presenter yang menjelaskan. Awalnya saya merasa bosan, karena bingung dengan alur pembahasan tema tersebut. Setelah pemakalah menjelaskan dan terjadi diskusi yang cukup ruwet di dalam kelas akhirnya dosenpun turun tangan, karena menurut beliau (dosen) pembahasan kita terlalu kemana-mana. Dosen pun mengambil alih perannya, sebagai pelurus apa-apa yang kurang tepat dalam diskusi yang berlangsung. Pembahasan diawali dengan sejarah kodifikasi Al-Qur’an.
Ternyata dibalik kitab suci yang sekarang ini berada di tangan kita, ada sebuah perjuangan yang sangat besar sekali, melalui waktu yang panjang dan tenaga yang ekstra. Betapa tidak, kitab suci yang sehari-hari bisa kita baca sekarang ini dahulu kala pada zaman  Nabi dijaga Nabi dan para sahabat dengan di hafalkan. Namun, ada beberapa sahabat yang menulisnya di kulit binatang, batu, pelepah kurma ataupun tulang-tulang. Semua itu dilakukan karena kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an. Setelah Nabi Wafat, penjagaan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan yang berada pada media-media tersebut, dan itu atas usulan Umar bin Khattab karena pada masa Abu bakar banyak dari penghafal Al-Qur’an yang wafat dalam perang Riddah. Maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan tulisan tersebut menjadi sebuah buku. Yang ketika Abu bakar wafat mushaf tersebut disimpan oleh salah satu Istri Nabi yaitu Hafsah.
Dalam proses pengumpulan yang dilakukan oleh zaid bin Tsabit membutuhkan waktu 6-8 tahun, yang itu dilakukan di masjid. Betapa usaha yang sangat besar untuk melakukan hal tersebut. Mengingat tidak ada data yang pasti terkait hal ini, yang ada hanya mereka para penghafal yang kemudian datang kepada Zaid dan menyetorkan hafalannya, dan diklarifikasi riwayat darimana orang tersebut mendapat hafalannya. Apakah sampai kepada Nabi ataukah tidak, dan jika sampai pada Nabi harus pula dihadirkan dua orang saksi bahwa orang tersebut mendapat ayat-ayat tersebut dari Nabi.
Sebenarnya apa yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit bukanlah berupa tulisan, namun lebih kepada rasm (gambar, lukisan, tanda ataupun simbol) karena memang mushaf Usmani itu lebih berupa seperti simbol-simbol untuk menjaga hafalan para penghafal Qur’an, yang bisa membaca adalah mereka yang hafal Qur’an. Sehingga atas rasm tersebut sering mendapat kritik dari para orientalis, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an sudah tidak orisinil karena tidak sama dengan tulisan yang ada pada mushaf  Utsmani (yang mereka anggap teks asli). Dan disini dijelaskan bahwa itu bukan merupakan tulisan, melainkan rasm. Jadi sangat salah sasaran jika yang dijadikan dasar rasm tersebut. Karena bukti utama adalah berupa hafalan yang jika diruntut sampai pada Nabi dan dibuktikan dengan dua orang saksi.
Pembukuan Al-Qur’an dilanjutkan pada masa Utsman bin Affan, karena melihat pada saat itu banyak bacaan yang berbeda antar umat Islam yang sandarannya tidak pada Nabi namun pada masing-masing suku. Dan Utsman juga menginstruksikan bahwa mushaf yang tidak resmi harap dibakar, jadi mushaf yang resmi adalah yang digarap oleh negara dibawah komando Zaid bin Tsabit dengan memperhatikan berbagai macam qira’at yang ada yang sandarannya kepada Nabi. Pembakaran tersebut bertujuan untuk : pertama, menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya. Kedua  menyatukan bacaan kendatipun masih ada perbedaan, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Usmani. Ketiga menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang ini. Terkait dengan poin ketiga sempat ada perdebatan tentang surat mu’awwidatain (Al-Alaq dan An-Nas) menurut Ibnu Mas’ud dua surat ini tidak termasuk dalam Al-qur’an. Karena dianggap dua ayat ini sebagai mantra, melihat ketika Nabi mendapat dua ayat ini adalah ketika Nabi terkena sihir.
Tentang perbedaan qira’at ada sebuah hadits yang menceritakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat bernama Hisyam bin Khakam menjadi imam dalam sebuah sholat. Dan dalam sholat tersebut sahabat Umar turut sebagai makmum. Dalam bacaan shalat dialek yang digunakan Hisyam tidak sama dengan yang digunakan Umar, yang dalam kisahnya Umar merasa geram terhadap Hisyam. Karena apa yang diajarkan Nabi kepadanya tidak sesuai dengan apa yang dibaca Hisyam pada bacaan shalat tersebut. Usai shalat Umar langsung mendekati Hisyam, dan keduanya berdebat tentang qira’at. Umar menyatakan bahwa bacaan yang diajarkan Nabi bukan seperti itu (yang dibaca Hisyam). Hisyam pun menyatakan bahwa apa yang ia baca itu juga ia dapat dari Nabi. Keduanya pun datang kepada Nabi dengan menceritakan permasalahan yang ada. Mulanya Nabi menyuruh Hisyam membaca, dan Nabi berkomentar, ya memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian ganti umar yang membaca dan Nabi pun berkomentar sama, ya seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian Nabi menambahkan: Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang menurut kalian ringan.
Ada berbagai macam pendapat mengenai dialek, ada pendapat yang mengatakan bahwa para penghafal membaca di depan Nabi dengan dialek mereka masing-masing dan Nabi membolehkannya. Pendapat satunya mengatakan bahwa memang Nabi mengajarkan bacaan kepada sahabat dengan dialek yang berbeda-beda. Dan jika kita lihat dari cerita diatas sepertinya pendapat kedua yang lebih cocok. Karena pada cerita tersebut baik Hisyam ataupun Umar mendapat bacaannya dari Nabi.
Banyak terjadi beda penafsiran atas tujuh huruf  yang disabdakan Nabi, ada yang menafsirkan tujuh huruf itu adalah qira’ah sab’ah, ada juga yang menafsirkan tujuh itu adalah mewakili banyaknya keberagaman bacaan yang ada. Namun dalam hal ini Abu Bakar Ibnu Mujahid seorang pemerhati Qira’at mengambil dari berbagai daerah, sehingga terakumulasilah qira’ah sab’ah diantaranya: Dari madinah : Nafi’, dari Makkah: ibnu Katsir, dari basrah: Ibnu ‘Amr dan Abu Umar, dari Kufah ada Ashim, Khumroh dan Ali Al-Kisa’i.
Setelah penulisan Al-Qur’an Utsman mengirimkan Al-Qur’an ke setiap kota besar. Pada mushaf utsmani ini penulisan belum disertai dengan titik ataupun tanda baca. Setelah masa utsman baru ada penyempurnaan berupa penambahan titik dan tanda baca.
Sedikit cerita dari dosen disela perkuliahan siang itu, bahwa begitu pentingnya titik beserta tanda bacanya dan diceritakanlah sebuah kisah:
Pada suatu hari ada seorang yang diutus untuk mengantarkan sebuah surat dan satu koper uang kepada seorang raja. Di tengan perjalanan orang tersebut membuka suratnya dan terdapat tulisan yang orang tersebut membacanya ايك نعبد و ايا ك نستعين padahal di surat tersebut tidak ada titik dan tanda bacanya. Kemudia ia kuburlah uang didalam koper tersebut karena ia berfikir tidak ada hubungan antara isi surat tersebut dengan uang yang ia bawa. Sampailah orang tersebut kepada raja, dan ia serahkan pula surat tersebut. Raja bertanya kepada orang tersebut, apa saja yang dititipkan kepadanya, apakah hanya surat itu atau ada yang lain. Orang itu menjawab bahwa yang dititipkan padanya hanya surat itu. Seketika itu pula raja memerintah kepada pengawalnya untuk memenjarakan orang tersebut, karena raja membaca surat tersebut yang artinya kurang lebih telah datang kepadamu seorang hamba beserta tujuh puluh dinar.
Hikmah yang dapat diambil dari cerita ini adalah, betapa pentingnya titik dan tanda baca dalam sebuah tulisan. Karena tanpa keduanya kita akan salah dalam membacanya dan memahami artinya. Betapa sangat luar biasa sekali Al-Qur’an yang kita miliki sehingga dapat kita baca dengan mudah saat ini, yang hurufnya sudah jelas dan lengkap dengan titik, tanda baca dan waqafnya.


Begitulah kami mengakhiri perkuliahan, dengan masih banyak pertanyaan yang muncul dibenak kami. Dan apa yang disampaikan penulis disini berdasarkan pemahaman penulis terhadap apa yang disampaikan di siang tersebut. So, jika ada yang kurang tepat dibetulkan saja..karena penulis adalah seorang manusia yang tak bisa lepas dari salah dan lupa.