Merasa Gagal Paham


Belajar dan pelajar ibarat dua sisi pada mata uang yang susah untuk dipisahkan, keduanya merupakan istilah dalam dunia pendidikan. Pendidikan sendiri, dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 adalah merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara. Dalam pengertian pendidikan dalam UU sisdiknas tersebut pelajar disebut dengan istilah “peserta didik”. Memang banyak sekali istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang belajar, kadang kala ada yang menyebutnya siswa, murid, santri (untuk di pondok pesantren), dan lain-lain. Belajar adalah merupakan sebuah proses transfer of knowledge serta value yang berdampak pada perubahan tingkah laku yang lebih baik. Seseorang yang melakukan proses tersebut namanya pelajar. Sampai pada kalimat terakhir ini jika dirunut dalam teori-teori pendidikan pelajar adalah orang yang belajar.
Namun saya mulai gagal paham ketika siang itu saya berada di bus trans semarang. Dengan tujuan ngaliyan saya harus beroper dua kali dari terminal. Awal saya naik dari terminal ikut bus jurusan ungaran, dan kemudian transit untuk berganti bus jurusan cangkiran. Saya pun naik bus jurusan cangkiran tersebut, diantara padat dan panasnya, kota ini tetaplah menjadi kota yang sangat istimewa bagiku. Kira-kira separo perjalanan ada ibu-ibu naik dengan menggendong dan menggandeng anaknya, yang digendong masih balita sementara yang digandeng sepertinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kegagal pahaman saya bermula dari mbak petugas bus yang menarik tiket pada ibu tersebut, petugas meminta si Ibu membayar RP.7.500,- karena setiap penumpang diharuskan membayar Rp. 3.500,- kecuali pelajar yang hanya dikenakan tariff Rp.1.000,-. Si ibu tidak mau membayar sejumlah yang diminta petugas, ia hanya mau membayar Rp. 4.500,- dengan alasan putri yang duduk disebelahnya adalah pelajar. Terjadi sedikit adu mulut antara petugas dan si Ibu. Bahwa menurut si Ibu anaknya yang masih pelajar tersebut tarifnya pun harus ikut tarif pelajar walaupun pada saat naik ia tak mengenakan seragam. Sedangkan menurut mbak petugas ia akan menarik karcis seharga pelajar jika seseorang tersebut mengenakan seragam. Hingga akhirnya petugas hanya menarik seharga pelajar.
Tak berhenti sampai uang empat ribu lima ratus itu sampai kepada petugas bus, orang-orang di sekeliling tempat duduk Ibu itu pun turut berkomentar. Dari sisi kanan tempat duduk Ibu tersebut berpendapat sama dengan Ibu tersebut, bahwa anaknya masih usia pelajar dan tarifnya pun harus tariff pelajar. Sementara dari tempat duduk belakan, tepatnya ibu-ibu yang duduk di sebelah kananku tidak sepakat sembari menggerutu pelan bahwa walaupun anak tersebut usia pelajar, tapi kan dia tidak memakai seragam, ya tarifnya harus umum lah,”begitu yang kudengar, agak lirih. Sementara tiga siswa yang naik bersama gurunya juga turut berkomentar, mereka duduk di depan sebelah kiriku. Mereka bertiga adalah pelajar dan naik bus dengan mengenakan jaket sehingga hanya Nampak rok abu-abu mereka, dan petugas pun mematok tariff umum, namun tiga pelajar ini tak banyak berkomentar hanya menyerahkan uang mereka dan menukarnya dengan tiket. Sementara ibu-ibu yang lain menuturkan langsung kepada ibu tersebut bahwa memang anaknya usianya adalah pelajar, namun sedang tidak mengenakan seragam, jadi tarifnya dianggap sebagai penumpang umum.
Saya yang berada diantara mereka hanya diam sembari berpikir. Mataku terus menatap keluar jendela bus seakan menelanjangi setiap sudut kota ini. Karena saya dulu pernah hidup dalam berbagai macam organisasi, maka permasalahan ini seakan tertarik pada ranah organisasi. Dalam hal ini bagaimana pemerintah daerah menetapkan peraturan bakunya. Jika dalam organisasi hal ini dikenal dengan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang didalamnya peraturan-peraturan baku harus sudah clear dan distinct, segala sesuatu harus ada indicator yang jelas agar tidak terjadi perdebatan di dalamnya.
Pelajar di dalam bus ini indikatornya harus bagaimana sebaiknya, saya juga sedikit bertanya-tanya. Apakah mereka yang masih dalam usia pelajar 6-19 tahun dan dibuktikan dengan KTP, ataukan mereka yang mempunyai kartu pelajar, ah..keduanya nampaknya terlalu ribet hingga kesimpulan yang diambil pelajar adalah mereka yang mengenakan seragam. Namun kesimpulan ini batal sebagai kesimpulan karena kasus ibu dengan kedua anaknya di atas. Bahwa pelajar tidak hanya mereka yang mengenakan seragam, anaknya yang kala itu tidak mengenakan seragam adalah juga seorang pelajar.

#gagal_paham