Menghadirkan Wajah Islam Inklusif


Islam inklusif berpandangan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan tujuan yang sama yaitu kepada Allah. Hanya saja cara menuju kebenaran itu yang berbeda antara agama satu dengan agama yang lainnya.
Islam merupakan agama yang menghargai keberagaman dan mampu berkolaborasi dengan budaya lain, maka dari itu Islam dapat masuk dan membaur di berbagai Negara dengan berbagaimacam karakteristik budaya. Indonesia misalnya, dengan kultur masyarakat yang heterogen Islam berhasil dibawa oleh para wali dengan menggunakan cara yang arif ketika berdakwah. Dalam konteks ini tradisi Islam yang berada di Indonesia sangat berbeda dengan Islam dari Negara asalnya yaitu Arab. Islam ala Indonesia merupakan adopsi akulturasi budaya setempat, sehingga menjadikan Islam kita lebih bersifat fleksibel dan inklusif.
Islam inklusif menjadi sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama, tidak anti kritik, tidak menggunakan kekerasan, bersifat dialogis serta beritikad baik dalam menjalin hubungan dengan agama non muslim. Selain itu, Islam inklusif dalam melihat keberagaman selalu mengambil hal-hal yang baik. Dengan jalinan yang baik dalam hidup beragama akan memunculkan relasi sosial yang harmonis di lingkungan masyarakat. Teologi inklusif dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama.
Problematika Sosial
            Kerap kali kita jumpai berita di media cetak ataupun elektronik yang mengabarkan tentang kekerasan dalam beragama. Sebut saja kasus pembakaran gereja di Temanggung, kasus Ahmadiyah, kasus gereja di Bogor serta kasus sunni-syi’ah di Sampang. Semua kasus itu dengan mudahnya melenggang disela-sela kompleksitas permasalahan yang ada di Negara ini. Padahal, negara Indonesia dengan segala heterogenitasnya, telah rapi mengatur permasalahan kebebasan dalam memeluk agama. Kebebasan dalam beragama ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan adanya legitimasi yang kuat diharapkan Indonesia bisa menyemai perdamaian berbasis multikultural.
            Dalam kenyataannya semuanya jauh dari apa yang diharapkan, sikap intoleransi serta eksklusif masih menduduki ruang gerak yang cukup mapan sehingga membuat masyarakat bersifat kolot dan tidak mau membuka diri terhadap kebenaran-kebenaran baru. Akibatnya merasa paling benar menjadi pertaruhan wajib bagi tiap golongan. Implikasinya, perdamaian di Indonesia hanya menjadi sebuah utopia semata. Gesekan-gesekan antar golongan yang seharusnya mewarnai dinamika kehidupan, justru menjadi ajakan untuk berperang. Bagaimana  akan tercipta kerukunan umat? Bagaimana pula kita memajukan Indonesia yang berbasis multikultural?
            Sebagai mahasiswa dan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menjadi ujung tombak perjuangan rakyat tentunya tak hanya bisa diam menyaksikan berbagai problematika yang terjadi. Melihat pemerintah sudah terlalu antipati terhadap permasalahan sosial kita harus turut serta mencarikan langkah yang solutif guna mengurai permasalahan yang terjadi. Mengingat berbagai permasalahan terutama yang timbul dengan latar belakang agama membuat kita harus merevitalisasi pemahaman Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang inklusif, toleran serta rahmatan lil alamin.
Sikap Inklusif
            Dalam menegakkan kebenaran, kita harus melakukannya dengan cara yang benar pula. Artinya tidak menggunakan kekerasan, lebih bersikap terbuka dalam menerima kebenaran yang ada serta bersama-sama membangun masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Seperti peringai yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, sang revolusioner pembawa perubahan. Semua yang beliau lakukan memposisikan bahwa sesungguhnya Islam lebih berpotensi pada inklusifitas bukan eksklusifitas.
            Islam inklusif adalah memahami Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (pembawa berkah bagi seluruh alam), dalam hal ini diharapkan Islam mampu menjadi agama penebar kedamaian. Nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan dan kemanusiaan mengarahkan pada sikap inklusif tidak kepada eksklusifisme seperti membenci agama lain, merendahkan non muslim, atau memusuhi dan menggunakan kekerasan dalam menyebarkan kebenaran. Bahkan Islam inklusif mengajarkan toleransi beragama dan juga kerja sama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi dan melakukan aksi bersama.
            Bangunan relasi yang baik dengan agama lain, serta keterbukaan dalam menerima kebenaran (sesuatu yang baru) oleh umat muslim, diharapkan akan membawa perubahan pada umat Islam dalam menghadapi moderenitas. Seperti layaknya Islam zaman dulu yang menjadi sentrum peradaban dunia, Islam menjadi referensi utama dalam segala hal. Dengan sikap inklusif, bukan tak mungkin lagi Islam akan mengalami kejayaan seperti dahulu.
           

      


[1]Disampaikan saat Diskusi Bedah materi MAPABA dengan materi “KE-ISLAMAN”