Sepotong Senja yang Kutinggalkan

Aku tak seberuntung Alina,
Yang mendapatkan sepotong senja dari Sukab,
Orang yang sangat mencintainya,
Walau Alina tak pernah menaruh rasa padanya,
Ia keratkan senja yang keemasan itu, lalu ia masukkan dalam amplop
Melalui pak pos senja itu sampai pada Alina, walaupun sepuluh tahun.
Tetap saja Alina adalah perempuan yang beruntung, dan aku tak seberuntung ia.
Aku menyaksikan senja, bukan di tepi pantai seperti Alina
Aku menikmati senja diantara padi yang baru di semai,
Diantara persawahan di persimpangan jalan,
Senja keemasan itu yang aku sesali hingga saat ini
Hingga aku berangan-angan ingin berjalan mundur,
Hingga aku sampai pada senja itu,
Lalu akan kulakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sukab,
Kukerat senja itu kumasukkan dalam toples kaca
Ya..toples kaca, karena aku tak akan mengirimnya pada siapa-siapa, jadi aku tak membutuhkan amplop seperti Sukab.
Dari toples kaca mungkin aku akan bisa melihat,
sepotong senja dan kisah hari itu,
Sebuah perjumpaan yang aku tak ingin terikat dengan waktu,
Aku hanya menginginkan senja yang abadi,
Yang tak akan berubah menjadi malam yang gelap gulita,
Biarlah itu menjadi senja yang panjang,
Hingga aku bosan memandangimu
Ahhh..senja itu, senja yang aku sesalkan
Kenapa aku tak mengeratnya dan memasukkannya dalam toples kaca,
Lengkap dengan udara khas pedesaan hijaunya padi
Dan ia yang membuatku jatuh cinta
Senja itu, adalah senja yang aku sesali hingga kini,
Senja yang membuatku jatuh cinta pada warna putih,

Selain jingga dalam abadinya.

Merasa Gagal Paham


Belajar dan pelajar ibarat dua sisi pada mata uang yang susah untuk dipisahkan, keduanya merupakan istilah dalam dunia pendidikan. Pendidikan sendiri, dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 adalah merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara. Dalam pengertian pendidikan dalam UU sisdiknas tersebut pelajar disebut dengan istilah “peserta didik”. Memang banyak sekali istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang belajar, kadang kala ada yang menyebutnya siswa, murid, santri (untuk di pondok pesantren), dan lain-lain. Belajar adalah merupakan sebuah proses transfer of knowledge serta value yang berdampak pada perubahan tingkah laku yang lebih baik. Seseorang yang melakukan proses tersebut namanya pelajar. Sampai pada kalimat terakhir ini jika dirunut dalam teori-teori pendidikan pelajar adalah orang yang belajar.
Namun saya mulai gagal paham ketika siang itu saya berada di bus trans semarang. Dengan tujuan ngaliyan saya harus beroper dua kali dari terminal. Awal saya naik dari terminal ikut bus jurusan ungaran, dan kemudian transit untuk berganti bus jurusan cangkiran. Saya pun naik bus jurusan cangkiran tersebut, diantara padat dan panasnya, kota ini tetaplah menjadi kota yang sangat istimewa bagiku. Kira-kira separo perjalanan ada ibu-ibu naik dengan menggendong dan menggandeng anaknya, yang digendong masih balita sementara yang digandeng sepertinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kegagal pahaman saya bermula dari mbak petugas bus yang menarik tiket pada ibu tersebut, petugas meminta si Ibu membayar RP.7.500,- karena setiap penumpang diharuskan membayar Rp. 3.500,- kecuali pelajar yang hanya dikenakan tariff Rp.1.000,-. Si ibu tidak mau membayar sejumlah yang diminta petugas, ia hanya mau membayar Rp. 4.500,- dengan alasan putri yang duduk disebelahnya adalah pelajar. Terjadi sedikit adu mulut antara petugas dan si Ibu. Bahwa menurut si Ibu anaknya yang masih pelajar tersebut tarifnya pun harus ikut tarif pelajar walaupun pada saat naik ia tak mengenakan seragam. Sedangkan menurut mbak petugas ia akan menarik karcis seharga pelajar jika seseorang tersebut mengenakan seragam. Hingga akhirnya petugas hanya menarik seharga pelajar.
Tak berhenti sampai uang empat ribu lima ratus itu sampai kepada petugas bus, orang-orang di sekeliling tempat duduk Ibu itu pun turut berkomentar. Dari sisi kanan tempat duduk Ibu tersebut berpendapat sama dengan Ibu tersebut, bahwa anaknya masih usia pelajar dan tarifnya pun harus tariff pelajar. Sementara dari tempat duduk belakan, tepatnya ibu-ibu yang duduk di sebelah kananku tidak sepakat sembari menggerutu pelan bahwa walaupun anak tersebut usia pelajar, tapi kan dia tidak memakai seragam, ya tarifnya harus umum lah,”begitu yang kudengar, agak lirih. Sementara tiga siswa yang naik bersama gurunya juga turut berkomentar, mereka duduk di depan sebelah kiriku. Mereka bertiga adalah pelajar dan naik bus dengan mengenakan jaket sehingga hanya Nampak rok abu-abu mereka, dan petugas pun mematok tariff umum, namun tiga pelajar ini tak banyak berkomentar hanya menyerahkan uang mereka dan menukarnya dengan tiket. Sementara ibu-ibu yang lain menuturkan langsung kepada ibu tersebut bahwa memang anaknya usianya adalah pelajar, namun sedang tidak mengenakan seragam, jadi tarifnya dianggap sebagai penumpang umum.
Saya yang berada diantara mereka hanya diam sembari berpikir. Mataku terus menatap keluar jendela bus seakan menelanjangi setiap sudut kota ini. Karena saya dulu pernah hidup dalam berbagai macam organisasi, maka permasalahan ini seakan tertarik pada ranah organisasi. Dalam hal ini bagaimana pemerintah daerah menetapkan peraturan bakunya. Jika dalam organisasi hal ini dikenal dengan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang didalamnya peraturan-peraturan baku harus sudah clear dan distinct, segala sesuatu harus ada indicator yang jelas agar tidak terjadi perdebatan di dalamnya.
Pelajar di dalam bus ini indikatornya harus bagaimana sebaiknya, saya juga sedikit bertanya-tanya. Apakah mereka yang masih dalam usia pelajar 6-19 tahun dan dibuktikan dengan KTP, ataukan mereka yang mempunyai kartu pelajar, ah..keduanya nampaknya terlalu ribet hingga kesimpulan yang diambil pelajar adalah mereka yang mengenakan seragam. Namun kesimpulan ini batal sebagai kesimpulan karena kasus ibu dengan kedua anaknya di atas. Bahwa pelajar tidak hanya mereka yang mengenakan seragam, anaknya yang kala itu tidak mengenakan seragam adalah juga seorang pelajar.

#gagal_paham

Mengeja dari Sisi Positif

Aku memulainya pada bulan terakhir, memasuki minggu ke-3 tepatnya pada tanggal 19 Desember 2015. Kupercayakan seluruh rasa ini pada seorang laki-laki yang aku telah mengenalnya selama kurang lebih satu tahun. Malam itu sebelum tanggal 19 dibawah gerimis kita saling mengungkapkan rasa, ya...rasa yang telah lama kita pendam, mungkin sekitar 6 bulan kita mampu memendamnya dan hanya menjadi penikmat dari kejauhan.
Entah mengapa ia yang telah lama pergi tiba-tiba muncul dan mengakui semuanya dibawah rintik hujan dan temaram lampu alun-alun yang menambah suasana romantis. Ia ungkapkan semuanya, namun malam ini ia tak mampu membangun komitmen denganku. Ia hanya sebatas mengutarakan rasa yang ia pendam padaku. Aku, yang menurutnya satu-satunya perempuan diantara perempuan-perempuan itu yang bisa membuatnya menaruh rasa. Ehtah karena apa ia pun tak tahu, kalau suka ya suka aja, begitu tuturnya. Akupun mengungkapkan rasa yang tak jauhb beda dengan miliknya.
Rasa kita memang sama, tapi kita juga sadar bahwa kita bagaikan utara dan selatan, timur dan barat yang tak mungkin bersatu. Iya...latar belakng ideologi kita berbeda. Ia menganut ideologi agak fundamen sedangkan aku lebih ke moderat liberal. Tapi apapun itu, kita lupakan perbedaan-perbedaan itu, kita mencoba untuk mendudukkan perbedaan itu dan mendialektikannya.
Usai berbicara panjang lebar, aku menemaninya makan malam itu. Kita masih berbincang tentang apa saja, hingga waktu sudah terlalu larut dan kita pulang. Esoknya aku bertemu dengannya, sikapnya agak berbeda hari ini seakan ada rona bahagia diantara kita pasca pertemuan semalam. Ya..pertemuan yang aku tak bisa menyebutnya “kencan” karena kita bukan pacar. Tapi apapun itu, kita jadi berbeda hari ini, ada romantis-romantisnya gitu.
Hingga tiba pada sebuah senja diantara gerimis, hal yang menurutnya romantis ini ia gunakan untuk mengutarakan rasanya padaku, ia memintaku pada senja diantara gerimis hari itu. Kita sejenak melupakan segala perbedaan dan segela ketidak mungkinan. Yang ada hari ini adalah cinta dan bahagia. Kita jalani saja kisah ini, bagaimana endingnya biar Sang pemilik rasa ini yang menentukannya, karna kita tak pernah tahu nasib seseorang.
Hari ini, diantara senja dan gerimis aku ingat apa yang dituturkan oleh Gie pemuda revolusioner yang juga punya sisi romantis. Ia mengatakan dalam puisinya “kita berbeda dalam semua kecuali dalam cinta” dan aku berharap cinta ini seperti yang dikatakan Gie. Keesokan harinya aku berjumpa kembali dengannya, namun statusku hari ini tak lagi jomblo, I’m yours baby..menjadi bahagia adalah saat menjadi perempuan yang paling diperhatikan diantara perempuan-perempuan lain, tanpa kau harus memintanya.
Bahagia ini pun berlanjut pada sebuah malam, diantara rintik hujan kita berbincang dalam satu meja. Dinginnya hujan tak sedikitpun menembus kulit ini, karna yang kurasa hanya sebuah kehangatan. Hinggaa perjalanan pulang hujan semakin deras dan aku sama sekali tak merasakan dingin.
Sampai disitu kebahagiaan dimulai dan di akhiri, tiga kali diantara hujan dan setelah itu aku hanya menjumpai air mata. Ia tak seperti hari-hari itu, dan ketika aku bertanya tentangnya yang berubah, ia tak mengiyakannya. “aku masih sama” begitulah ia bertutur ketika aku mengutarakan perubahan pada dirinya. Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sekitar 3 hari. Hingga pada malam itu ada BBM masuk satu layar lebih, dan itu darinya. Ia mengutarakan permintaan maafnya karena telah memulai ketidak nyamanan ini.
Selang beberapa hari aku harus memastikan rasa dan hubungan ini, bagaimanapun aku adalah seorang perempuan, yang tak ingin statusnya di gantung. Berstatus pacaran tapi seperti jmblo. Pagi itu kuberanikan untuk mempertanyakan semuanya. Tentang rasa untukku apakah telah hilang semuanya? Dan pada pagi itu pula diantara air mata kita mengakhiri semuanya. Ia memintaku untuk memutuskannya, tapi aku tak mau melanggar prinsipku, bahwa dalam hidupku dalam kisah cintaku aku tak mau memutuskan seseorang. Aku katakan padanya, seorang bijak berani meminta dan juga mengakhiri. Dan hari itu, satu minggu lebih dua hari kita mengakhiri segalanya.
Sekuat apapun aku, hatiku adalah hati perempuan yang pasti akan merasakan sakit hati dan akan meneteskan air mata ketika diseperti itukan. Detik itu, aku mencoba mengeja dari sisi positif namun berkali-kali aku jatuh dan gagal. Hanya ada sakit hati dan kebencian, dan aku menikmati sakit hati dan air mata ini sekitar satu jam. Pasca itu, aku langsung menata hidup menata langkah menata hati. Tak ada gunanya sakit hati ini, jika sampai titik kemarin aku bisa hidup tanpa adanya makhluk yang namanya “pacar” kenapa hari ini aku harus tak bisa? Sakit hati pasti ada, tapi aku tak pernah diajarkan untuk membenci ataupun tidak memaafkan seseorang yang membuat kesalahan. Tuhan saja pemaaf, masak aku yang hanya makhluk lemah ini tak memberikan maaf.

Tapi rasa apapun itu yang aku alami, aku akan tetap berterimakasih padamu, seseorang yang pernah menjadikanku perempaun yang spesial diantara perempuan-perempuan lainnya. Hingga pada akhir kisah kita aku belajar tentang tanggung jawab dan komitmen terhadap apa yang kita sayangi terhadap apa yang kita miliki.

“Blu Fire Gagal Target” Trip to Kawah Ijen

Hari jum’at itu kami berangkat sekitar pukul 14.00 WIB dari kos. Bersama teman-teman kelas kami menghabiskan akhir pekan ini di Bondowoso, tujuan kami adalah Kawah Ijen. Diantara guyuran hujan perdana yang membasahi kota Malang kami berangkat menuju terminal Arjosari. Kami melakukan perjalanan dengan bus. Sekitar pukul 22.00 kami sampai di kota Bondowoso, beristirahat sejenak di kontrakan teman guna mempersiapkan perjalanan esok hari.
Hujan tak berhenti di kota Malang, hari sabtu Bondowoso pun di guyur hujan. Namun itu tak menyurutkan semangat kami untuk menyaksikan blue fire di kawah ijen. Kami berangkat dari Bondowoso pukul 14.30, dan sampai pada tujuan sekitar pukul 19.00 WIB. Dalam perjalanan, kami sempat beberapa kali berhenti untuk membeli peralatan yang kurang dan berhenti pada tempat-tempat yang sekiranya indah untuk berfoto ria. Karena menurut kami, ngetrip tanpa dokumentasi sangatlah tidak kekinian.
Nge-camp di Bawah
Hari sudah gelap, udara pun sudah terasa dingin ketika kita masuk lokasi kawah ijen. Tanpa  menunggu lama kami mendirikan tenda dan membuat api unggun. Disinilah keakraban di mulai, pasca mendirikan tenda ada yang fokus dengan api unggun dan adapula yang bertugas memasak. Sembari makan malam yang ala kadarnya salah satu teman yang sudah beberapa kali mendaki Ijen memberi pengarahan pada kami yang rata-rata belum pernah mendaki. Ia menceritakan pengalamannya yang sudah belasan kali naik ke Ijen sembari memberikan pengarahan pada kita-kita yang pemula.
Kita bersepakat, untuk melakukan pendakian pukul 02.00 dini hari. Teman-teman yang perempuan tidur di tenda, sementara yang laki-laki berada diantara api unggun dengan sleeping bagnya masing-masing untuk menunggu sampai waktu pendakian. Semakin malam semakin ramai, orang-orang banyak yang berdatangan, maklum ini adalah sabtu malam, begitu kira-kira istilah yang digunakan para jomblo untuk menggantikan diksi “malam minggu”.
Memulai Pendakian
Tepat pukul 02.00 WIB kita bersiap, diawali dengan pengarahan dan pengecekan barang-barang yang perlu di bawa. Apa yang menjadi kebutuhan pribadi harus dibawa sendiri, begitu cara untuk melatih tanggung jawab terhadap diri sendiri. Setelah selesai pengecekan dan pengarahan kita berdoa sejenak, lalu menuju gerbang pendakian pada pukul 02.30. Dengan mendaki pada waktu tersebut harapannya kita bisa menyaksikan blue fire yang memang menjadi target kami. Mata yang ngantuk serta udara yang dingin menjadi sensasi tersendiri, kita melangkah dengan sangat pelan. Dalam pendakian ini kami bersepakat untuk tidak saling meninggalkan satu sama lain, jadi jika ada satu yang tidak kuat semua harus menunggu, tanpa terkecuali. Bagi kami yang baru pertama kali mendaki, medan kawah ijen sedikit menantang dengan jalan yang menanjak.
Problem Pendakian

Hampir separo jalan kita mendaki, salah satu teman perempuan kami ada yang tidak kuat. Kami berhenti agak lama untuk menunggunya, dan akhirnya kita putuskan untuk membagi rombongan menjadi dua. Dalam perjalanan itu pupus sudah harapan untuk menyaksikan blue fire karna matahari sudah hampir nampak. Namun, kegagalan menyaksikan blue fire, tak lantas membuat kita kecewa. Semua lelah terbayar ketika sampai di atas terhampar pemandangan yang indah, kepulan asap dari kawah dan hijaunya gunung yang menjulang. Tak ada penyesalan walau target blue fire gagal, karena dari sini kita belajar bagaimana arti penting sebuah pesahabatan. 

Kamu Ahad atau Minggu?


"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan (dengan) pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui, tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui, orang-orang yang mendapat petunjuk." – (QS.16:125)

Siang ini dalam keheningan, tiba-tiba aku di ajak bicara oleh orang yang lebih sepuh dari saya. Mungkin beliau masih menganggap saya anak-anak dalam segala hal, terutama dalam hal pemikiran. Kemarin orang ini baru saja hadir dalam sebuah majelis, entah apa yang dituturkan “tokoh” dalam majelis tersebut. Yang jelas dalam panasnya kota perbatasan ini orang tersebut tiba-tiba bertutur kepadaku, melanjutkan apa yang dituturkan dari “tokoh” majelis yang dihadirinya kemarin. ”kita tidak boleh menggunakan istilah hari minggu, alasannya karena Rasulullah tak pernah menggunakan kata minggu, kita harus menggunakan diksi hari ahad”, begitu tuturnya. Aku diam sejenak dan menoleh, karena saat itu aku sedang berada di depan laptop. Aku timpali sedikit pernyataannya yang sebenarnya tidak membutuhkan tanggapan, karena mungkin itu adalah sebuah pengetahuan baru yang harus diberikan pada anak yang masih di anggap kecil seperti saya.
Saya hanya menimpali, ahh itu hanya masalah bahasa. Kalo semua ikut Kanjeng Nabi tidak hanya ahad dong,,,kita juga harus menyebut senin itu isnain dan seterusnya. Kemudian kami saling diam, sembari aku sedikit berfikir tentang hubungan bahasa, budaya, Islam, dan juga Indonesia.
Bahasa adalah merupakan bagian dari kebudayaan sebuah bangsa atau negara. Islam adalah sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad,  dan Nabi Muhammad berada di tanah Arab kala itu. Sehingga apa-apa yang dari ataupun untuk beliau pasti tidak jauh dari konteks lokalitas Arab, termasuk bahasa yang merupakan bagian dari budaya. Dalam hal ini wahyu terbesar umat Islam yang disampaikan kepada beliau (red. Nabi Muhammad) pun berbahasa Arab, karena tak dapat kita pungkiri, Al-Qur’an adalah merupakan problem solver dari segala macam permasalahan umat pada masa itu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan masa itu, Islam pertama kali adalah di Tanah Arab.
Islam dan budaya memang tak bisa dipisahkan, tapi kita tidak bisa mengklaim bahwa Islam merupakan budaya. Islam adalah sebuah agama yang dinamis, yang fleksibel yang mampu berbaur dengan berbagai macam budaya, baik Arab ataupun Indonesia. Jadi, untuk urusan seperti ini apakah kita masih mau berdebat tentang Kanjeng Nabi tidak pernah menggunakan diksi hari “minggu, senin, selasa, dst..” ya jelas saja kan beliau orang Arab. Sama dengan ketika kita berbicara orang Islam di Amerika, apakah mereka menggunakan diksi “ahad” atau “minggu” tidak kan??mereka akan menggunakan diksi “Sunday”.
Islam adalah agama yang universal sekaligus lokal, sisi universalitas Islam berada pada wahyu yaitu Al-Qur’an sedangkan pemaknaan terhadap wahyu bersifat lokal, artinya tergantung pada konteks lokalitas sebuah daerah. Ketika kita tinggal di Indonesia, berislam lah sesuai dengan konteks Indonesia. Tidak ada yang salah semua baik, tidak ada hukuman dosa bagi orang yang menggunakan diksi “ahad” ataupun “minggu” karena hal itu hanya merupakan urusan furu’iyah dalam Islam.
Jangan mudah untuk berdebat dan saling menyalahkan, pahami konteks permasalahan dan juga ilmunya. Pahami juga mana bagian-bagian ushul dan bagian-bagian furu’, mana bagian yang sakral mana bagian yang profan. Jangan sampai kita mensakralkan yang profan atau memprofankan yang sakral. Karena Islam itu Indah, Islam itu toleran.



Karena Ngaliyan Aku Bertahan

Aku tak pernah bermimpi soal Ngaliyan. Sebuah kecamatan yang berada di kota semarang. Mungkin jarang orang yang tahu tentang Ngaliyan, karena tak ada sesuatu yang istimewa di sana. Ngaliyan bukanlah apa-apa, tapi Naliyan sangat bermakna. Berawal dari kehidupanku dan kesendirianku, disana aku menemukan banyak saudara. Ya, saudara.. memang kita tidak dilahirkan dari rahim biologis yang sama, tapi kita lahir dari rahim ideologis yang sama di sebuah tempat yang bernama Ngaliyan.
Ngaliyan bukanlah apa-apa tanpa kita, dan kita bukanlah siapa-siapa tanpa Ngaliyan, jadi keberadaan kita semacam menjadi simbiosis mutualisme. Ngaliyan terkenal sebagai sentrumnya gerakan mahasiswa, jika kita berbicara lingkup Semarang. Ngaliyan selalu mendatangkan masa paling banyak jika ada unjuk rasa. Ini bukanlah apa-apa kawan..kita hanya berusaha untuk selalu mengeja lingkungan sekitar kita.
Ada juga yang mengatakan, Ngaliyan tak pernah tidur. Ya..karena kita masih akan melihat kehidupan di angkringan-angkringan dari malam-tengah malam-hingga fajar. Di tempat-tempat itulah kami membangun keluarga, terkadang dengan obrolan serius seperti membincang politik, membincang masalah bangsa dan negara serta kehidupan di kampus tercinta. Terkadang juga kita hanya sebatas bercerita, yang sebentar-sebentar akan terdengar kelakar tawa dari kerumunan kita. begitulah Ngaliyan dengan kehidupan malamnya.
Berbicara Ngaliyan, juga berbicara masalah senja. Kita akan mendapati senja yang indah di sudut kampus, dengan posisi tanah yang lebih tinggi dari jalan raya, disana kita menikmati sang jingga yang hendak kembali ke peraduannya. Kami duduk melingkar dengan white bord dan beberapa buku bacaan. Ini kegiatan yang tak pernah ketinggalan dari sudut-sudut ngaliyan, selalu ada forum-forum diskusi tentang masalah apapun. Karena kita tak pernah menabukan masalah apapun untuk di diskusikan, semuanya adalah ilmu begitulah kira-kira prinsip yang kita pegang.
Kita tinggalkan sejenak kehidupan intelektual, kita akan menuju kehidupan sosial. masyarakat Ngaliyan walau sudah terbilang sedikit modern, tapi masih memegang nilai-nilai persaudaraan. Asalkan kita ramah, mereka akan bersikap baik kepada kita. hal ini sudah saya buktikan di sekitar lingkungan kos saya yang itu adalah kompleks perumahan. Dengan keramahan-keramahan itu, bertambahlah keluarga saya di Ngaliyan.
Ketika menginjakkan kaki pertama kali di Ngaliyan, aku masih ingat betul, aku tak kenal siapa-siapa. Namun ketika akan meninggalkan Ngaliyan tanpa sadar aku harus berpamitan pada banyak orang. Dari sana aku sadar aku telah menemukan keluarga-keluarga baru di tempat kecil ini.
Kehidupan intelektual, dan juga sosial tak lengkap jika tanpa kehidupan spiritual. Dalam hingar-bingarnya kota semarang, Ngaliyan punya sisi spiritual yang tinggi. Ketika menjalani hidup dari awal di Ngaliyan aku berpegang pada “dzikir, fikir, amal sholih” bahwa kehidupan tidak boleh lepas dari tiga elemen itu. Jika hanya mengandalkan intelektual saja tanpa spiritual tak akan bisa melahirkan amal sholih. Dari situ saya sadar harus melengkapi aspek spiritual. Dari kebutuhan ini aku mengenal dua pribadi yang sudah seperti orang tua sendiri, aku memanggilnya Abah dan Umik, di tempat beliaulah spiritualku di carge.
Tak hentinya beliau selalu memberi petuah, layaknya kepada anaknya sendiri. Karena tidak dipungkiri kehidupan anak muda adalah kehidupan labil, yang harus selalu di kontrol. Dan sebagai penyeimbang adalah nasehat-nasehat dari Abah setiap malam selasa dan malam kamis.

Begitulah Ngaliyan, ketika aku tinggalkan pada 29 Januari 2015 yang lalu, tepat pada sebuah senja ku akhiri perjalanan panjangku di Ngaliyan, ya...sekitar empat setengah tahun aku di sana, tentunya dengan suka duka. Karena begitulah takdir hidup ini, terkadang ada suka terkadang ada duka, namun itu semua tergantung bagaimana kita memandangnya dengan bijak, bahwasanya hidup harus kita pandang dari berbagai sisi, agar kita tidak menjadi orang-orang yang picik. Terimakasih Ngaliyan, karenamu aku mampu bertahan. 

Hidupmu Pilihan atau di-Pilih-kan?

Jika berbicara aliran dalam teologi kita mengenal adanya paham jabariyah, yang beranggapan apa yang terjadi adalah sudah merupakan takdir ketentuan Tuhan, paham ini juga sering disebut fatalisme. Paham ini sering dilawankan dengan Qadariyah, yang beranggapan bahwa hidup kita tak hanya ketetapan Tuhan, namun juga ada campur tangan manusia. Sehingga kita tidak bisa semata-mata menyerahkan bahwa apa yang terjadi adalah takdir ataupun ketetapan Tuhan.
Namun, dalam hidup ini terkadang kita meresa menjalani sesuatu yang jika meminjam diksi anak sekarang adalah “enggak gue banget” artinya kita menjalani hidup yang sebenarnya tidak menjadi keinginan kita, namun kita masih tetap istiqomah di situ, dan bahkan melanjutkan kehidupan yang “enggak gue banget” tersebut. Dari fenomena tersebut, terkadang saya berfikir, apakah saya harus jabariyah menyikapi kehidupan yang seperti itu. Adanya keinginan untuk berpindah haluan nampaknya sulit, karena ibarat kata kita telah berjalan pada suatu lorong yang gelap dan panjang, kita tak tahu dimana letaak cabang pada lorong tersebut. Harus ada ledakan besar untuk kita tahu, dan keluar dari jalur awal kita. Dalam analogi ini, sebenarnya kita bisa keluar dari hidup yang menurut kita “enggak gue banget” ini dengan usaha yang sangat-sangat besar.
Masalah sudah teridentifikasi, solusi sudah ada. Namun untuk memulai solusi tersebut tak semuanya lancar. Ada berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi dalam mencapai solusi tersebut. Diantaranya keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
Sebenarnya, yang menjadi pembahasan tulisan ini tak jauh dari kehidupan seputar pendidikan. Kita sedang membincang linearitas, namun bukan linearitas studi pertama kita dengan studi ke dua dan seterusnya yang telah kita lalui. Kita sedang membincang linearitas antara studi yang kita lakoni dengan hati kita. Dalam studi yang kita lakoni saat ini, mungkin orang-orang melihat kita sangat enjoy dan bahkan menguasai apa yang kita lakoni.
Tidak ada yang mau tahu, apakah yang kita lakoni saat ini, linear dengan hati dan perasaan, dan saya rasa tidak!! ada keinginan untuk merubah jalan, karena kita tahu, bahwa untuk menemukan lorong yang lain harus ada ledakan besar. Dalam penciptaan ledakan besar tersebut kita membutuhkan piranti, dan piranti yang kita butuhkan adalah dukungan dari ketiga sektor tersebut, yaitu keluarga, sekolah dan juga masyarakat. Realitas, tak semuadah apa yang diteorikan, itu sudah jelas. Dan ketika telah demikian halnya kita hanya bisa berkata, ini adalah takdir Tuhan! Jabariyah lagi kan...