Aku Adalah K(opi)

Aku dilahirkan bukan dari seorang pecinta kopi, akupun dulu tak kenal apa itu kopi. Hanya yang kuingat ketika  masih duduk dibangku Taman Kanak-kanak setiap paginya aku selalu meminum satu cawan kopi hitam. Pada saat itu nenekku selalu meminum kopi dipagi hari sehingga ketika bangun tidur aku turut menikmati satu cawannya sebelum berangkat ke sekolah.
Pada waktu itu ngopi belum menjadi tradisi anak muda. Kopi hanya dinikmati oleh para orang tua baik laki-laki ataupun perempuan, itu yang aku ingat. Kebiasaan diminumi kopi itupun tak lantas menjadi candu bagiku. Ketika nenekku berhenti ngopi aku pun tak pernah melanjutkan kebiasaan itu.
Hingga aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun beda halnya ketika aku hidup ditanah rantau ketika menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas. Di hidupku masa ini aku mulai tertarik dengan kopi, namun masih sebatas kopi instan. Padahal aku hidup disebuah kota yang sangat terkenal dengan kopi leletnya. Aku tau kebiasaan ngopi disini sudah dilakoni para anak muda. Ada sebuah warung kopi terkenal yang wajib dikunjungi ketika kita singgah di kota kecil ini. Pak John, begitulah kawan-kawanku menyebutnya. Mereka para kaum adam hampir semuanya tahu kopi pak John.
Namun sekali lagi di kota ini budaya ngopi adalah budayanya kaum adam. Saya sebagai kaum hawa hanya bisa menikmati kopi instan yang setiap saat bisa kuseduh di tanah rantau ini, tanahnya para pecinta kopi. Lambat laun, aku tak berani lagi menyeduh kopi walau itu adalah kopi instan karena ada masalah pada lambungku jika terkena caffein dari kopi.  Namun keberpalinganku tak berlangsung lama, aku mulai tak menghiraukan setiap kali sakit yang kurasa dari secangkir kopi, dan lama-lama aku kebal akan hal itu.
Beranjak dari kota kopi aku menuju tanah rantau yang lain, yang lebih jauh dari tanah rantau pertama. Disini aku berkawan dengan orang-orang kelelawar, yah mereka yang sukanya melek dimalam hari dan tidur dipagi  hari. Ketika malam mereka selalu ditemani secangkir kopi hitam, dan bahkan terkadang pahit. Karena bagi mereka laki-laki kopinya harus hitam, kalau tidak itu namanya banci. Diperantauan ini saya hanya menjumpai dua kopi, yaitu kopi hitam dan kopi instan yang aku belum bisa memahami cara menikmatinya, aku hanya sebatas ikut-ikutan kebiasaan kawan-kawan saat kita kumpul nongkrong.
Selang waktu berjalan aku berkawan dengan orang-orang lintas daerah, ada sebuah daerah yang peradaban ngopinya sangat tinggi. Di kota itulah aku mulai tertarik dengan kopi lagi. Aku diperkenalkan kopi dari macam-macam daerah, aku diajari cara meracik kopi hingga itu bisa jadi sebuah kopi yang diberi nama kopasus, sukop, kopasus kotok, kotok manis, kopaja dan banyak lagi lainnya. Dari sini aku belajar bagaimana pentingnya menjaga rasa kopi itu sendiri walau sudah dicampur gula, susu ataupun jahe. Mereka mengajariku bahwa cara peracikan yang berbeda akan menghasilkan rasa kopi yang berbeda.
Dari ini aku menjadi penikmat kopi, ya..sekali lagi penikmat belum pecinta kopi. Kopi ibarat sesuatu yang selalu disediakan Tuhan bagiku. Bagaimana tidak, setiap belum habis kopiku pasti ada yang memberiku kopi. Dari kopi kediri, salatiga, malang dan gersik hingga kopi-kopi lokal jika aku singgah di sebuah daerah.
Setelah dari kota kedua aku melanjutkan perantauan lagi ke kota ketiga. Disini peradaban ngopi sudah sangat tinggi. Banyak anak muda yang berkumpul untuk belajar di kota yang ketiga ini. Dan kesemuanya itu ditunjang dengan banayaknya pula warung kopi. Ada yang buka 24 jam, ada juga yang buka malam hingga dini hari. Yang sama dari semuanya adalah tempat-tempat itu takpernah sepi dari para pemuda. Warung kopi adalah arena yang sangat nyaman untuk berdiskusi, berdialektika, serta bertukar pikiran antara beberapa orang.
Namun, dari semua ini tak banyak orang yang setuju dengan apa yang saya ungkapkan. Beberapa orang masih memandang negatif warung kopi, terutama jika seorang perempuan turut menikmati kopi ditempat tersebut. Wajar saja jika demikian, kita tak bisa menyeragamkan pandangan orang-orang. Karena masing-masing dari mereka berhak dalam subjektivitasnya masing-masing.
Dari sekian perjalanan yang saya alami bersama kopi, kini kopi menjadi sesuatu yang tak bisa terpisahkan dari hidupku. Bukan hanya kopi, ampas kopi pun turut menjadi mainan tersendiri bagiku, ketika waktu luang aku menghabiskan waktuku memadukan ampas kopi pada media kertas, apapun itu bagai manapun hasilnya aku menyebutnya coffe art. Jika merasa pusing, atau tak enak badan obatku hanya satu yaitu kopi. Entah mengapa aku masih belum menemukan jawabannya, hanya saja aku merasa dunia akan selalu baik-baik saja jika kita bersama secangkir kopi. Secangkir kopi yang tak bisa aku definisikan kenikmatannya.

(K)opi Senja

Batu, 27-2-2015

Islam Indonesia; Sebuah Sintesis


 “Wahyu bukanlah sesuatu yang berada diluar konteks yang kukuh tak berubah. Wahyu selalu berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan”.
Indonesia tak pernah lekang dari permasalahan radikalisme, terutama yang berhubungan dengan agama. banyak gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam, yang suka membunuh sesama dengan dalil jihad fi sabilillah gerakan-gerakan tersebut pernah menjamur di Indonesia. Orang-orang tersebut hanya kurang bisa memahami wahyu yang diturunkan Tuhan secara kontekstual. Sehingga muncullah truth claim yang begitu saja mengesampingkan sikap tasamuh atau toleran. Padahal dalam Al-Qur’an sangat dianjurkan untuk saling mengenal antara sesama makhluk ciptaan Allah. Namun pemahaman yang salah terhadap wahyu dapat melahirkan gerakan-gerakan radikal yang sangat merugikan bangsa dan agama.
Sangat jelas sekali, apa yang mereka (red, gerakan radikal) lakukan sangat menciderai ideologi bangsa kita, yaitu pancasila. Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya mempunyai harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Karna kita tahu bahwa Indonesia sangat heterogen sekali masyarakatnya, dalam hal agama, suku, ras serta budaya. Kita harus tetap menjaga apa yang menjadi warisan masing-masing leluhur kita, sehingga kita harus berdiri diatas perbedaan-perbedaan tersebut dan bersatu padu memnjadi Indonesia. Hal ini pun senada dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Maka dari itu sebagai warga Negara yang baik, kita harus selalu berpegang teguh pada nilai-nila pancasila, serta tidak mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok atau organisasi yang tidak jelas ideologinya serta menyimpang dari ideologi luhur bangsa.
Dialektika Islam
Islam meupakan agama Rahmatan lil alamin yang mampu berdialektika dengan berbagai budaya pada tiap lokusnya. Ajaran-ajaran Islam mampu berkolaborasi baik dengan budaya dan peradaban disuatu daerah. Hingga dalam sebuah diktum dikatakan al-adah muhakkamah, adat masyarakat bisa dijadikan sumber Islam. Artinya hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari’at seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan serta bentuk bangunan masjid. Islam itu adalah agama rahmat, jadi jangan dibuat seram dan menakutkan sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris yang mengatasnamakan Islam, dan seolah-olah mereka adalah pejuang Islam.
Islam masuk dan berbaur dalam suatu daerah tentu saja tidak dalam keadaan budaya yang kosong. Arab misalnya, Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad di daerah ini. Secara historis semua orang mengetahui bahwa Arab pada masa itu sudah memiliki budaya yang kuat dan mengakar, yaitu budaya kaum-kaum jahiliyah. Dalam konteks ini Islam mampu berdialektika dengan budaya Arab pra Islam, sedikit demi sedikit ajaran Islam masuk dan berbaur dengan budaya tersebut. Pada saat itu Nabi tak lantas dengan sekaligus memberangus budaya pra Islam dan menggatikannya dengan budaya sebagaimana Islam mensyari’atkannya.
Islam itu datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju sebuah kehidupan yang dinamis dan harmonis. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut sebuah masyarakat, akan tetapi Islam menginginkan agar umatnya jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermartabat dan membawa madlarat didalam kehidupannya. Sehingga dalam hal ini Islam perlu meluruskannya dan membimbing kebudayaan yang berkembang dimasyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadits.
Islam itu ramah bukan marah, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari sang guru besar kira, Gus Dur. Ungkapan tersebut sederhana namun mengandung makna yang dalam, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, atau saling membunuh. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap ramah, saling mengasihi, saling menyayangi terhadap semua ciptaan Allah.
Sebuah Sintesis
Ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya Hindu Budha yang terlebih dahulu singgah dan mengakar pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun Islam mampu berdialektika dengan budaya sebelumnya sehingga menghasilkan sintesa baru berupa Islam Indonesia dan tentunya tidak sedikitpun mengurangi hal-hal yang bersifat Ushuliyah atau hubungan kita dengan Tuhan karena itu merupakan esensi Islam. Sesuatu yang bersifat ushuliyah tersebut, manusia tidak punya wewenang untuk merubahnya, karena hal tersebut mutlak adanya, dan perubahan daripadanya akan menghilangkan esensi dari Islam.
Berbeda halnya dengan sesuatu yang bersifat furu’iyah, unsur lokalitas sangat mempengaruhi sesuatu yang bersifat furu’iyah. Sebuah contoh, bahwasanya Islam Indonesia merupakan sebuah sintesa antara wahyu dan tradisi lokal. Sholat adalah merupakan perintah dari Allah yang termaktub dalam al-Qur’an (red, wahyu), dan dalam hal ini sholat bersifat ushuliyah karena merupakan bentuk hubungan langsung antara seorang hamba dan sang pencipta. Dalam sholat kita diwajibkan untuk menutup aurat yang merupakan syarat sahnya sholat. Namun, sesuatu yang kita gunakan untuk menutup aurat itu bersifat furu’iyah yang tentunya sangat memperhatikan unsur lokalitas.
Di Negara Arab menutup aurat bisa dilakukan dengan memakai sarung tangan, kaos kaki, busana muslim, jubah, sorban serta cadar. Berbeda halnya dengan Indonesia kita mengenal adanya mekena, baju koko, sarung dan juga peci yang semuanya itu juga dapat kita gunakan dalam sholat, dan esensinya pun sama yaitu menutup aurat, dan itu adalah merupakan identitas masing-masing bangsa tergantung dimana kita tinggal.
Bentuk lain dari proses dialektika Islam dengan budaya lokal adalah tradisi sedekah bumi atau nyadran. Dahulu sebelum Islam dating di Indonesia tradisi ini dilakukan dengan ritual-ritual penyembahan, namun ketika Islam datang pemujuaan-pemujaan tersebut ditujukan hanya kepada dzat yang maha suci yaitu Allah SWT, tiak lagi pada pohon atau batu besar. Tradisi-tradisi seperti ini yang merupakan identitas dari Islam kita yaitu Islam Indonesia yang merupakan sintesis dari adanya wahyu dan budaya bangsa.

Kopi, Senja dan Pelangi


Kopi, adalah sosok bijaksana berkarisma dan punya jiwa leadership yang kuat. Sementara senja adalah sosok apa adanya. Dia bisa dalam segala hal dalam porsinya, artinya ia tak punya keunggulan dalam satu bidangpun, namun ia selalu bisa untuk menjadi apa yang dituntutkan kepadanya. Sedangkan pelangi ia adalah sosok yang cekatan, lemah lembut, dan juga misterius, (menurut si kopi). Cerita ini mengisahkan antara karakter-karakter yang berkamuflase dalam tokoh kopi, senja dan pelangi.
Berawal dari pertemuan cangkir kopi pada suatu senja, itu adalah senja yang sangat indah dimana langit berwarna keemasan dan menunjukkan keanggunannya. Terjadi dialog cukup panjang antara kopi dan senja. Mulai dari berbincang tentang hal pribadi, sengkarut negara kecil, hingga sengkarut negara besar. Karena memang pada saat itu kopi dan senja sedang dalam keadaan memegang pucuk pimpinan sebuah negara kecil. Dalam waktu ini kawan kopi dan kawan senja meminta kepada kopi dan senja agar mereka berkoalisi, entah misi apa yang kawan kopi dan senja bawa sehingga harus mempersatukan kutub barat dan timur negara kecil, mungkin mereka bosan dengan drama yang dipertontonkan elit politik negara besar.
Kopi dan senja tak pernah menghiraukan ocehan kawan-kawan, mereka terus berdialog tentang apa saja. Dari situ senja kagum terhadap kopi, pemikirannya yang visioner dan bijaksana layak membawa dirinya menjadi presiden negara kecil. Dengan pulang membawa rasa kagumnya senjapun meninggalkan kopi menuju kutub asalnya, negara timur. Sementara kopi pemilik kutub negara barat menjalani kehidupannya sebagaimna biasanya, namun sekali lagi tak ada yang bisa mengklarifikasi apa yang dirasakan dan dialami kopi setelah bertemu senja.
Kopi dan senja adalah padanan yang cocok yang Tuhan ciptakan diantara milyaran ciptaan-Nya. Namun apa daya, senja tetaplah senja ia adalah sesuatu yang akan muncul ketika waktunya tiba walau kadang senja tak seindah yang orang inginkan, menampakkan sinar keemasan dan semburat jingga diufuk barat, namun senja akan selalu ada dengan apa adanya. Jika kita beruntung kita dapat menjumpai senja yang indah, namun jika tidak kita juga akan tetap menyebut itu adalah waktu senja walau tanpa semburat jingga.
Pelangi juga merupakan sosok yang hebat, layaknya kopi dan senja. Ia merupakan bagian penting disebuah negara kecil yang lain. Menurut kopi pelangi adalah sosok yang cerdas dan misterius. Yang sangat lebih baik dan lebih indah jika dibandingkan dengan senja. Lalu kopipun merapat pada pelangi, membangun sebuah visi bersama yang tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan oleh senja sekalipun.
Senja tak seperti pelangi, yang ia jauh lebih indah dan lebih kaya warna dari pada hanya sekedar semburat jingga. Pelangi punya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu tak seperti senja yang hanya punya jingganya. Senjapun tak pernah tau bagaimana sebenarnya pelangi itu, ia hanya tahu pelangi dari hasil bacanya terhadap tulisan kopi yang ia sendiri tidak tau seberapa besar subjektivitas kopi dalam mendefinisikan pelangi. Yang senja tahu pelangi adalah sosok sempurna yang sangat diharapkan kopi, dan senja sangat jauh jika dibandingkan dengan pelangi.
Senja hanya bisa terdiam menikmati keindahan kopi pelangi yang baginya harus terpaksa berucap indah, padahal tidak demikian rasanya. Senja selalu ingat apa yang disampaikan kopi kala senja pertama mereka dipertemukan. Namun sepertinya antara kopi dan senja memiliki jalannya masing-maasing hingga membuat kopi bermuara pada pelangi dan tak bertemu senja, kecuali jika takdir berkata lain.
Tak peduli dengan keindahan yang ala kadarnya senja tetaplah senja dengan satu warna jingganya, yang ia selalu ada tiap harinya walau kadang kita tak beruntung menyaksikan indahnya. Tapi ia tetap ada tiap harinya, tak seperti pelangi yang hanya muncul dalam waktu tertentu. Ahh..apalah itu baik senja atau pelangi selagi ada kopi akan ada negeri yang bersuka cita bukan berduka cita.

By: (k)Opi Senja
Batu, 26-2-2015