Mengeja dari Sisi Positif

Aku memulainya pada bulan terakhir, memasuki minggu ke-3 tepatnya pada tanggal 19 Desember 2015. Kupercayakan seluruh rasa ini pada seorang laki-laki yang aku telah mengenalnya selama kurang lebih satu tahun. Malam itu sebelum tanggal 19 dibawah gerimis kita saling mengungkapkan rasa, ya...rasa yang telah lama kita pendam, mungkin sekitar 6 bulan kita mampu memendamnya dan hanya menjadi penikmat dari kejauhan.
Entah mengapa ia yang telah lama pergi tiba-tiba muncul dan mengakui semuanya dibawah rintik hujan dan temaram lampu alun-alun yang menambah suasana romantis. Ia ungkapkan semuanya, namun malam ini ia tak mampu membangun komitmen denganku. Ia hanya sebatas mengutarakan rasa yang ia pendam padaku. Aku, yang menurutnya satu-satunya perempuan diantara perempuan-perempuan itu yang bisa membuatnya menaruh rasa. Ehtah karena apa ia pun tak tahu, kalau suka ya suka aja, begitu tuturnya. Akupun mengungkapkan rasa yang tak jauhb beda dengan miliknya.
Rasa kita memang sama, tapi kita juga sadar bahwa kita bagaikan utara dan selatan, timur dan barat yang tak mungkin bersatu. Iya...latar belakng ideologi kita berbeda. Ia menganut ideologi agak fundamen sedangkan aku lebih ke moderat liberal. Tapi apapun itu, kita lupakan perbedaan-perbedaan itu, kita mencoba untuk mendudukkan perbedaan itu dan mendialektikannya.
Usai berbicara panjang lebar, aku menemaninya makan malam itu. Kita masih berbincang tentang apa saja, hingga waktu sudah terlalu larut dan kita pulang. Esoknya aku bertemu dengannya, sikapnya agak berbeda hari ini seakan ada rona bahagia diantara kita pasca pertemuan semalam. Ya..pertemuan yang aku tak bisa menyebutnya “kencan” karena kita bukan pacar. Tapi apapun itu, kita jadi berbeda hari ini, ada romantis-romantisnya gitu.
Hingga tiba pada sebuah senja diantara gerimis, hal yang menurutnya romantis ini ia gunakan untuk mengutarakan rasanya padaku, ia memintaku pada senja diantara gerimis hari itu. Kita sejenak melupakan segala perbedaan dan segela ketidak mungkinan. Yang ada hari ini adalah cinta dan bahagia. Kita jalani saja kisah ini, bagaimana endingnya biar Sang pemilik rasa ini yang menentukannya, karna kita tak pernah tahu nasib seseorang.
Hari ini, diantara senja dan gerimis aku ingat apa yang dituturkan oleh Gie pemuda revolusioner yang juga punya sisi romantis. Ia mengatakan dalam puisinya “kita berbeda dalam semua kecuali dalam cinta” dan aku berharap cinta ini seperti yang dikatakan Gie. Keesokan harinya aku berjumpa kembali dengannya, namun statusku hari ini tak lagi jomblo, I’m yours baby..menjadi bahagia adalah saat menjadi perempuan yang paling diperhatikan diantara perempuan-perempuan lain, tanpa kau harus memintanya.
Bahagia ini pun berlanjut pada sebuah malam, diantara rintik hujan kita berbincang dalam satu meja. Dinginnya hujan tak sedikitpun menembus kulit ini, karna yang kurasa hanya sebuah kehangatan. Hinggaa perjalanan pulang hujan semakin deras dan aku sama sekali tak merasakan dingin.
Sampai disitu kebahagiaan dimulai dan di akhiri, tiga kali diantara hujan dan setelah itu aku hanya menjumpai air mata. Ia tak seperti hari-hari itu, dan ketika aku bertanya tentangnya yang berubah, ia tak mengiyakannya. “aku masih sama” begitulah ia bertutur ketika aku mengutarakan perubahan pada dirinya. Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sekitar 3 hari. Hingga pada malam itu ada BBM masuk satu layar lebih, dan itu darinya. Ia mengutarakan permintaan maafnya karena telah memulai ketidak nyamanan ini.
Selang beberapa hari aku harus memastikan rasa dan hubungan ini, bagaimanapun aku adalah seorang perempuan, yang tak ingin statusnya di gantung. Berstatus pacaran tapi seperti jmblo. Pagi itu kuberanikan untuk mempertanyakan semuanya. Tentang rasa untukku apakah telah hilang semuanya? Dan pada pagi itu pula diantara air mata kita mengakhiri semuanya. Ia memintaku untuk memutuskannya, tapi aku tak mau melanggar prinsipku, bahwa dalam hidupku dalam kisah cintaku aku tak mau memutuskan seseorang. Aku katakan padanya, seorang bijak berani meminta dan juga mengakhiri. Dan hari itu, satu minggu lebih dua hari kita mengakhiri segalanya.
Sekuat apapun aku, hatiku adalah hati perempuan yang pasti akan merasakan sakit hati dan akan meneteskan air mata ketika diseperti itukan. Detik itu, aku mencoba mengeja dari sisi positif namun berkali-kali aku jatuh dan gagal. Hanya ada sakit hati dan kebencian, dan aku menikmati sakit hati dan air mata ini sekitar satu jam. Pasca itu, aku langsung menata hidup menata langkah menata hati. Tak ada gunanya sakit hati ini, jika sampai titik kemarin aku bisa hidup tanpa adanya makhluk yang namanya “pacar” kenapa hari ini aku harus tak bisa? Sakit hati pasti ada, tapi aku tak pernah diajarkan untuk membenci ataupun tidak memaafkan seseorang yang membuat kesalahan. Tuhan saja pemaaf, masak aku yang hanya makhluk lemah ini tak memberikan maaf.

Tapi rasa apapun itu yang aku alami, aku akan tetap berterimakasih padamu, seseorang yang pernah menjadikanku perempaun yang spesial diantara perempuan-perempuan lainnya. Hingga pada akhir kisah kita aku belajar tentang tanggung jawab dan komitmen terhadap apa yang kita sayangi terhadap apa yang kita miliki.

0 komentar:

Posting Komentar