Analisis Kurikulum 2013

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis dan konseptual sebagai berikut:
1.    Landasan Filosofis
a.       Filosofis pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan
b.      Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai-nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat.
2.    Landasan Yuridis
a.       RPJMM 2010-2014 sektor pendidikan, tentang perubahan metodologi pembelajaran dan penataan kurikulum.
b.      PP No. 19 tahun 2010, tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013
c.       INPRES nomor 1 tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
3.    Landasan Konseptual
Ø  Relevansi pendidikan (link and match)
Ø  Kurikulum berbasis kompetensi dan karakter
Ø  Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)
Ø  Pembelajaran aktif (student active learning)
Ø  Penilaian yang valid, utuh dan menyeluruh




ANALISIS LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
Pada dasarnya landasan pengembangan kurikulum 2013 yang meliputi landasan filosofis, yuridis dan konseptual sudah bisa dikatakan bagus. Hanya saja dalam penerapan kurikulum 2013 dibutuhkan SDM yang mumpuni juga. Karena sekuat apapun landasan yang digunakan sebagus apapun konsep yang ditawarkan jika tidak dibarengi dengan kemampuan aktif para aktor pendidikan itu akan menjadi percuma. Hal ini bisa kita lihat pada implementasi kurikulum 2013. Sebenarnya konsep yang ditawarkan sangat bagus sekali untuk menciptakan para penerus bangsa yang hebat. Yang pada kurikulum ini menekankan pada aspek pendidikan karakter.
Bagaimanapun juga pembentukan karakter sangat dibutuhkan para peserta didik saat ini. Mengingat, merekalah yang kelak akan melanjutkan estafet perjuangan bangsa ini kedepan. Maka perlu kiranya, generasi-generasi baru yang lahir harus memiliki moral yang baik demi kemajuan bangsa. Melihat Indonesia saat ini yang sedang dilanda krisis multi dimensi, maka sudah seharusnya dunia pendidikan turut andil dalam menyembuhkan penyakit kronis yang sedang dialami Indonesia.
Melalui pendidikan, dan melalui kurikulum harapannya Indonesia dapat melahirkan orang-orang hebat. Karena bagaimanapun juga kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa maju pendidikan di bangsa tersebut. Dan kita sedang berupaya akan hal tersebut. Maka dari itu, harapannya kurikulum dalam ranah sosiologis tidak hanya merupakan arena kontestasi bagi para elit politik. Sehingga muncul asumsi bahwa setiap ganti menteri berganti pula kurikulumnya. Hal tersebut harus benar-benar kita cermati, mengingat cita-cita bangsa ini yang begitu besar untuk membangun bangsa yang lebih hebat. Maka sudah selayaknya dalam penyusunan kurikulum harus terhindar dari praktik-praktik yang berbau tendensius. Selain itu dalam pengembangannya kurikulum harus memiliki landasan yang kuat, agar pengembangannya dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Dalam penetapan landasan kurikulum harus memuat landasan filosofis, yuridis, serta konseptual.
Sudah selayaknya semua elemen bersatu padu untuk menciptakan dunia pendidikan yang harmonis. Tidak hanya pada lingkungan sekolah saja melainkan lingkungan keluarga dan masyarakat. Guru juga harus berperan aktif, dan tanggap terhadap transformasi yang ada. Jangan sampai konsepnya sudah diatas langit namun eksekutornya masih dibawah tanah. Artinya guru harus bisa mengimbangi dan menjalankan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita bersama.
 Berikut analisis per-poin dalam ke tiga landasan yang tertera di atas:
Landasan Filosofis
Ø  Filosofis pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan.
Sudah sepatutnya pancasila menjadi landasan filosofis utama dalam pengembangan kurikulum. Karena pancasila juga merupakan dasar NKRI sehingga apa-apa yang terdapat dalam pancasila, merupakan keterwakilan masyarakat Indonesia. Selain itu pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingan dalam kesejahteraan hidup baik lahir maupun batin. Di dalam pancasila memuat nilai-nilai luhur seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang ke limanya harus menjadi dasar dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.
Landasan yang bagus ini seharusnya kita dapat mengimplementasikannya dengan baik. Agar nilai dalam pancasila tidak kehilangan ruhnya, miris sekali ketika sila-sila dalam pancasila itu dihafal di luar kepala namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak di implementasikan dengan baik.
Ø  Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai-nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat.
Out put yang baik dari sebuah proses pendidikan adalah apabila peserta didik dapat menjadi insan kamil. Yaitu manusia yang sadar akan posisinya sebagai abdullah dan khalifah fil arldh maka dari itu landasa filosifis yang kedua dalam pengembangan kurikulum ini didasarkan pada nilai-nilai luhur dan nilai-nilai akademik, serta apa-apa yang menjadi kebutuhan peserta didik yang nantinya itu adalah merupakan bekal bagi peserta didik untuk dapat hidup di masyarakat. Sehingga dalam proses pendidikan dapat terbentuk manusia-manusia yang cerdas yang berbudi luhur serta tanggap terhadap problematika masyarakat. Hal ini seperti yang disebut Antonio Gramsci tentang intelektual organik, yaitu mereka para teoritis yang menyatu secara organik dengan kebudayaan dan aktivitas masyarakat. Mereka tidak menyebarluaskan pengetahuan secara formal kepada masyarakat, namun mereka bergabung dan hidup bersama untuk membangun sebuah masyarakat yang dinamis.

Landasan Yuridis
Ø  RPJMM 2010-2014 sektor pendidikan tentang perubahan metodologi pembelajaran dan penataan kurikulum.
Dengan landasan ini, dalam kurikulum 2013 dihadirkan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran  demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budaya dan bahasa Indonesia.
Pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek kognitif semata-mata tepai juga harus mengembangkan aspek afektif dan psikomotorik secara holistik.
Dalam penataan kurikulum dibagi menjadi penataan pada tingkat nasional, daerah, sekolah dan seterusnya. Dalam hal ini ada pemberian kewenangan kepada sekolah untuk menyusun silabus, buku teks siswa dan buku panduan guru. Pemerintah daerah akan menyiapkan KD, silabus, buku teks siswa, dan buku panduan guru untuk muatan lokal.
Namun sekali lagi dalam penataan kurikulum ini harus ada pemantauan agar buku yang dipelajari siswa isinya sesuai dengan apa yang diinginkan. Karena akhir ini, marak sekali buku-buku yang beredar terutama buku Pendidikan Agama Islam yang isinya banyak mengajarkan tentang radikalisme.
Ø  PP No. 19 tahun 2010, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang mana dalam hal ini ada 8 standar pendidikan.
Pertama, Standar isi yang  mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ke dua,standar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif , inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Ke tiga, standar kompetensi lulusan Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Ke empat, standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum:
a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma;
b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan
c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3).
Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya.
Ke lima, standar sarana dan prasarana
Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Ke enam, standar pengelolaan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
Ke tujuh, standar pembiayaan Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
Ke delapan, standar penilaian pendidikan Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
   Dengan berlandaskan 8 standar pendidikan yang telah ditetapkan jika dalam pelaksanaannya bagus maka akan berkualitaslah out put nya. Sayangnya belum semua lembaga pendidikan dapat memenuhi 8 standar pendidikan ini secara ideal.
Ø  INPRES nomor 1 tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Selain perubahan yang lebih menekankan sisi afektif kurikulum 2013 juga mengupayakan terciptanya suasana belajar yang aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Jadi selain peserta didik tersebut cerdas dan mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional, tetapi tetap berbudaya Indonesia, yang sopan, santun, cerdas, bermoral serta berkarakter.
Landasan Konseptual
Ø  Relevansi pendidikan (link and match)
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia. Langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman, dan perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru. Relevansi pendidikan adalah sejauh mana sistem pendidikan dapat mengahsilkan iuran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Hasil dari pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam. Relevansi pendidikan dapat dilihat dengan mengikuti alur input-proses-output-outcome. Input disini berupa peserta didik, kurikulum, guru, dll. Sedangkan proses adalah berkaitan dengan proses pembelajaran, yang outputnya dapat dilihat dari kemampuan peserta didik berdasarkan hasil pengukuran kemampuannya. Dan outcomenya dapat berupa peningkatan mutu lulusan yang dapat dilihat dari berapa lulusan yang melanjutkan studi dan berapa lulusan yang survive di dunia kerja. Maka dari itu mutu input dan proses sangat menentukan mutu output dan outcome. Maka dari itu pada kurikulum 2013 lebih ditekankan bagaimana membangun kesadaran dan daya kreatif siswa.
Ø  Kurikulum berbasis kompetensi dan karakter
Dari penyempurnaan kurikulum yang telah ada, kurikulum 2013 hadir dengan penekanan pada peningkatan kompetensi dan pembentukan karakter. Karena sangat percuma jika seorang siswa mahir dalam sisi kognitifnya namun dalam segi afektif ia tertinggal. Seperti hanya ia mampu berteori, tapi gagap dalam menyelesaikan problematika yang ada disekitarnya. Maka dari itu, konsep yang diusung dalam kurikulum ini adalah belajar dari realitas. Agar kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya berimbang.
Ø  Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)
Apa yang dipelajari siswa adalah apa yang dialaminya di kehidupan nyata. Tidak seperti kurikulum sebelumnya yang terlalu padat teorinya, namun implementasinya dalam realitas kehidupan sangat kecil. Maka dari itu dalam pengembangannya kurikulum 2013 berlandaskan pada pembelajaran kontekstual.
contextual teaching and learning sebagai konsep belajar membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam   kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yaitu kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya.
Hal ini sebagaimana konsep pendidikan yang ditawarkan Paulo Freire sebagai antitesis pendidikan bergaya bank, dan untuk pendidikan ini Freire menyebutnya dengan pendidikan hadap masalah. Karena yang menjadi objek belajar siswa adalah realitas kehidupan yang dihadapi oleh siswa.
Ø  Pembelajaran aktif (student active learning)
Pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa  (Student Centred Learning) menjadi pendekatan wajib bagi pembelajaran kurikulum 2013 yang mendahulukan kepentingan dan kemampuan siswa (dalam belajar). Pembelajaran aktif harus memberi ruang bagi siswa untuk belajar menurut ketertarikannya,kemampuan pribadinya, gaya belajarnya. Siswa secara natural berbeda-beda satu dengan yang lainnya baik dalam ketertarikannya terhadap suatu bahan ajar, kemampuan intelektual masing-masing maupun dalam gaya belajar yang disukainya. Guru dalam pembelajaran kurikulum 2013 yang ingin menciptakan pembelajaran aktif harus berperan sebagai fasilitator yang mampu membangkitkan ketertarikan siswa terhadap suatu materi belajar dan menyediakan beraneka pendekatan cara belajar sehingga siswa (yang berbeda-beda tersebut) memperoleh metoda belajar yang paling sesuai baginya. Lebih jauh lagi kemampuan intelektual dari masing-masing siswa berbeda-beda. Sebagian siswa bisa belajar secara mandiri dengan cara mendengar, membaca, melihat, menonton video, mengikuti demonstrasi keahlian tertentu dsb. sendiri tanpa orang lain membantunya, namun sebagian lainnya siswa perlu berinteraksi / berkolaborasi dengan lingkungan belajar lainnya seperti dengan teman-temannya, guru, lingkungan kelas, sekolah dan bahkan perlu bekerja bersama dalam suatu kelompok kerja. Sebagian yang lain lagi perlu sedikit bermain dengan tantangan dsb.
Ø  Penilaian yang valid, utuh dan menyeluruh
Dalam sistem penilaiannya kurikulum 2013 menekankan pada penilaian terhadap tiga komponen dalam proses. Tiga komponen tersebut adalah skill (ketrampilan), knowledge (pengetahuan), dan attitude (perilaku). Tiga komponen itu didapatkan ketika proses pembelajaran berlangsung. Jadi tidak hanya hasil tes tertulis saja yang dinilai dalam sistem penilaian kurikulum 2013 ini.
Dengan penialain yaang valid, utuh dan menyeluruh diharapkan siswa dapat terbentuk sesuai konsep yang diinginkan.
Pada dasarnya landasan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum 2013 sudah sangat kuat, dan sudah mencakup berbagai aspek. Mulai dari landasan filosofis, yuridis, dan konseptualnya sudah sangat jelas. Namun ketika kita lihat di lapangan, sepertinya penerapan kurikulum  2013 belum semuanya siap. Hingga sempat muncul pernyataan dari mentri pendidikan untuk kembali pada kurikulum yang lama yaitu KTSP. Jika kita kembali pada KTSP maka bukannya kita mengambil langkah maju tetapi mengambil langkah mundur satu langkah. Hingga ahirnya, dalam lembaga pendidikan saai ini masih ada yang menggunakan kurikulum 2013 dan KTSP. Sebenarnya konsep dari kurikulum 2013 sudah sangat bagus, hanya saja terkadang belum semua daerah siap untuk melaksanakannya, walaupun sebenarnya sudah banyak dilakukan sosialisasi. Terkadang guru masih terjebak pada sistem pembelajaran yang monoton, yang memposisikan siswa hanya sebagai pendengar. Sehingga tidak tercipta suasana pembelajaran aktif dalam kelas. Selain itu model pembelajaran tematik integratif masih sering membuat guru terjebak masuk ke dunia mata pelajaran yang parsial. Harus ada keserasian antara guru, sarana prasarana di sekolah, siswa dan konsep yang ditawarkan kurikulum 2013. Jika semuanya selaras maka terciptalah generasi-generasi bangsa yang cerdas, punya daya saing yang tinggi, memegang teguh nilai-nilai budaya, bermoral dan berkarakter. Dengan generasi-generasi emas seperti itu tak ayal lagi Indonesia menjadi sebuah negara yang berpendidikan tinggi.



Bersama Jateng

Hari itu adalah hari dimana aku mengakhiri 1 periodeku di wilayah Jawa Tengah. Waktu itu bertempat di Jepara, 6-8 Juni 2014 merupakan agenda reorganisasi Forum Silaturahim Mahasiswa (FORSIMA) PAI se Jawa wilayah Jawa Tengah. Dalam periode awal ini aku dipercaya oleh kawan-kawan memegang 1 tahun kepengurusan Jateng. Sebuah amanah yang berat untukku. Karena sebelumnya aku adalah orang yang awam jika berbicara masalah organisasi. Dan sekali ini langsung mengambil porsi Jawa Tengah, sekup yang tidak bisa dikatakan kecil.
Aku terpilih sebagai koordinator wilayah secara aklamasi, waktu itu musyawarah wilayah yang pertama kali dilaksanakan di antara wilayah-wilayah yang lain dalam lingkup Jawa. Muswil pertama di gelar di Semarang, hingga menghasilkan sebuah kepengurusan wilayah jateng pada organisasi Forsima.
Tak mudah aku menjalani satu periodeku. Ini adalah langkah awal, karena memang organisasi ini baru dibentuk. Tak ada panutan dalam aku melangkah. Aku hanya berbekal semangat dari diri sendiri serta semangat dari pengurus yang lain. Tak lupa  juga dorongan motivasi dari para pendiri dan para senior yang turut serta mengiringi langkahku.
Kala itu pertama kali menjabat sebagai korwil aku tak berpikir muluk-muluk tentang organisasi ini. Yang ada dibenakku saat itu bagaimana aku menjaga organisasi ini agar tetap hidup dan dapat membangun soliditas di wilayah Jawa Tengah. Meski hanya demikian tanggung jawab ini tak bisa dianggap remeh. Kendala ruang dan waktu yang ada mengharuskanku agar benar-benar menjaga pola komunikasi yang ada.

Beberapa agenda telah terlaksana, namun ada juga yang tidak terlaksana. Waktu itu separo lebih dari pengurus turut hadir dalam forum tertinggi wilayah tersebut. Sampai detik itu aku merasa terharu pada dulur-dulur yang punya semangat yang luar biasa dalam membangun wilayah Jateng. Maka dengan diterimanya Laporan Pertanggung Jawaban kami purna sudah kepengurusan kami. Dan kini saatnya generasi setelah kami yang harus melanjutkan cita-cita besar FORSIMA. 

(K)opi Senja

Kutitipkan rinduku pada semburat senja,
Juga pada secangkir kopasus yang mungkin kau rindukan (jua)
Jika rindu adalah kabar dari Tuhan,
Maka kopasus adalah surat balasan dariku
Masih kutaruh harapan pada ketidak mungkinan,
Atau bahkan pada kemungkinan yang belum mendapatkan waktunya
Jika merindumu adalah sebuah anugerah maka biarlah senja tetap begini
Aku mengharapkan cangkir itu,
Pada hari ke dua awal tahun lalu,
Ah...ternyata aku tak mengharapkan cangkir itu,,
Aku mengharapkan kopasus dalam cangkir itu
Yang berada di dalam cangkir tepat di depanku,
Itu juga di hari ke dua awal tahun lalu,
Ah..ternyata aku tak menginginkan kopasus dalam cangkir itu
Aku hanya menginginkan kesatuan yang ada di depanku
Sebuah cangkir, kopasus di dalamnya dan kita yang berada diantaranya
di hari ke dua awal tahun lalu,,
Maka biarlah berlalu,,

Dan kita bisa mengenangnya melalui kopi dan senja

Belajar Sejarah

 10 Maret 2015, 3 SKS ke dua pun di mulai. Hari ini dosen datang agak telat, dikarenakan suatu hal. Ini adalah kali pertama presentasi dilakukan dengan tema pembahasan kodifikasi mushaf Utsmani. Sebenarnya ada dua pemakalah, namun hanya satu yang bisa menghantarkan kita menuju pembahasan. Presentasi perdana dimulai, kondisi audience agak tidak kondusif karena tidak ada paper yang mereka pegang, juga tak ada slide yang harus mereka amati, hanya ada suara dari sang presenter yang menjelaskan. Awalnya saya merasa bosan, karena bingung dengan alur pembahasan tema tersebut. Setelah pemakalah menjelaskan dan terjadi diskusi yang cukup ruwet di dalam kelas akhirnya dosenpun turun tangan, karena menurut beliau (dosen) pembahasan kita terlalu kemana-mana. Dosen pun mengambil alih perannya, sebagai pelurus apa-apa yang kurang tepat dalam diskusi yang berlangsung. Pembahasan diawali dengan sejarah kodifikasi Al-Qur’an.
Ternyata dibalik kitab suci yang sekarang ini berada di tangan kita, ada sebuah perjuangan yang sangat besar sekali, melalui waktu yang panjang dan tenaga yang ekstra. Betapa tidak, kitab suci yang sehari-hari bisa kita baca sekarang ini dahulu kala pada zaman  Nabi dijaga Nabi dan para sahabat dengan di hafalkan. Namun, ada beberapa sahabat yang menulisnya di kulit binatang, batu, pelepah kurma ataupun tulang-tulang. Semua itu dilakukan karena kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an. Setelah Nabi Wafat, penjagaan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan yang berada pada media-media tersebut, dan itu atas usulan Umar bin Khattab karena pada masa Abu bakar banyak dari penghafal Al-Qur’an yang wafat dalam perang Riddah. Maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan tulisan tersebut menjadi sebuah buku. Yang ketika Abu bakar wafat mushaf tersebut disimpan oleh salah satu Istri Nabi yaitu Hafsah.
Dalam proses pengumpulan yang dilakukan oleh zaid bin Tsabit membutuhkan waktu 6-8 tahun, yang itu dilakukan di masjid. Betapa usaha yang sangat besar untuk melakukan hal tersebut. Mengingat tidak ada data yang pasti terkait hal ini, yang ada hanya mereka para penghafal yang kemudian datang kepada Zaid dan menyetorkan hafalannya, dan diklarifikasi riwayat darimana orang tersebut mendapat hafalannya. Apakah sampai kepada Nabi ataukah tidak, dan jika sampai pada Nabi harus pula dihadirkan dua orang saksi bahwa orang tersebut mendapat ayat-ayat tersebut dari Nabi.
Sebenarnya apa yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit bukanlah berupa tulisan, namun lebih kepada rasm (gambar, lukisan, tanda ataupun simbol) karena memang mushaf Usmani itu lebih berupa seperti simbol-simbol untuk menjaga hafalan para penghafal Qur’an, yang bisa membaca adalah mereka yang hafal Qur’an. Sehingga atas rasm tersebut sering mendapat kritik dari para orientalis, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an sudah tidak orisinil karena tidak sama dengan tulisan yang ada pada mushaf  Utsmani (yang mereka anggap teks asli). Dan disini dijelaskan bahwa itu bukan merupakan tulisan, melainkan rasm. Jadi sangat salah sasaran jika yang dijadikan dasar rasm tersebut. Karena bukti utama adalah berupa hafalan yang jika diruntut sampai pada Nabi dan dibuktikan dengan dua orang saksi.
Pembukuan Al-Qur’an dilanjutkan pada masa Utsman bin Affan, karena melihat pada saat itu banyak bacaan yang berbeda antar umat Islam yang sandarannya tidak pada Nabi namun pada masing-masing suku. Dan Utsman juga menginstruksikan bahwa mushaf yang tidak resmi harap dibakar, jadi mushaf yang resmi adalah yang digarap oleh negara dibawah komando Zaid bin Tsabit dengan memperhatikan berbagai macam qira’at yang ada yang sandarannya kepada Nabi. Pembakaran tersebut bertujuan untuk : pertama, menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya. Kedua  menyatukan bacaan kendatipun masih ada perbedaan, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Usmani. Ketiga menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang ini. Terkait dengan poin ketiga sempat ada perdebatan tentang surat mu’awwidatain (Al-Alaq dan An-Nas) menurut Ibnu Mas’ud dua surat ini tidak termasuk dalam Al-qur’an. Karena dianggap dua ayat ini sebagai mantra, melihat ketika Nabi mendapat dua ayat ini adalah ketika Nabi terkena sihir.
Tentang perbedaan qira’at ada sebuah hadits yang menceritakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat bernama Hisyam bin Khakam menjadi imam dalam sebuah sholat. Dan dalam sholat tersebut sahabat Umar turut sebagai makmum. Dalam bacaan shalat dialek yang digunakan Hisyam tidak sama dengan yang digunakan Umar, yang dalam kisahnya Umar merasa geram terhadap Hisyam. Karena apa yang diajarkan Nabi kepadanya tidak sesuai dengan apa yang dibaca Hisyam pada bacaan shalat tersebut. Usai shalat Umar langsung mendekati Hisyam, dan keduanya berdebat tentang qira’at. Umar menyatakan bahwa bacaan yang diajarkan Nabi bukan seperti itu (yang dibaca Hisyam). Hisyam pun menyatakan bahwa apa yang ia baca itu juga ia dapat dari Nabi. Keduanya pun datang kepada Nabi dengan menceritakan permasalahan yang ada. Mulanya Nabi menyuruh Hisyam membaca, dan Nabi berkomentar, ya memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian ganti umar yang membaca dan Nabi pun berkomentar sama, ya seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian Nabi menambahkan: Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang menurut kalian ringan.
Ada berbagai macam pendapat mengenai dialek, ada pendapat yang mengatakan bahwa para penghafal membaca di depan Nabi dengan dialek mereka masing-masing dan Nabi membolehkannya. Pendapat satunya mengatakan bahwa memang Nabi mengajarkan bacaan kepada sahabat dengan dialek yang berbeda-beda. Dan jika kita lihat dari cerita diatas sepertinya pendapat kedua yang lebih cocok. Karena pada cerita tersebut baik Hisyam ataupun Umar mendapat bacaannya dari Nabi.
Banyak terjadi beda penafsiran atas tujuh huruf  yang disabdakan Nabi, ada yang menafsirkan tujuh huruf itu adalah qira’ah sab’ah, ada juga yang menafsirkan tujuh itu adalah mewakili banyaknya keberagaman bacaan yang ada. Namun dalam hal ini Abu Bakar Ibnu Mujahid seorang pemerhati Qira’at mengambil dari berbagai daerah, sehingga terakumulasilah qira’ah sab’ah diantaranya: Dari madinah : Nafi’, dari Makkah: ibnu Katsir, dari basrah: Ibnu ‘Amr dan Abu Umar, dari Kufah ada Ashim, Khumroh dan Ali Al-Kisa’i.
Setelah penulisan Al-Qur’an Utsman mengirimkan Al-Qur’an ke setiap kota besar. Pada mushaf utsmani ini penulisan belum disertai dengan titik ataupun tanda baca. Setelah masa utsman baru ada penyempurnaan berupa penambahan titik dan tanda baca.
Sedikit cerita dari dosen disela perkuliahan siang itu, bahwa begitu pentingnya titik beserta tanda bacanya dan diceritakanlah sebuah kisah:
Pada suatu hari ada seorang yang diutus untuk mengantarkan sebuah surat dan satu koper uang kepada seorang raja. Di tengan perjalanan orang tersebut membuka suratnya dan terdapat tulisan yang orang tersebut membacanya ايك نعبد و ايا ك نستعين padahal di surat tersebut tidak ada titik dan tanda bacanya. Kemudia ia kuburlah uang didalam koper tersebut karena ia berfikir tidak ada hubungan antara isi surat tersebut dengan uang yang ia bawa. Sampailah orang tersebut kepada raja, dan ia serahkan pula surat tersebut. Raja bertanya kepada orang tersebut, apa saja yang dititipkan kepadanya, apakah hanya surat itu atau ada yang lain. Orang itu menjawab bahwa yang dititipkan padanya hanya surat itu. Seketika itu pula raja memerintah kepada pengawalnya untuk memenjarakan orang tersebut, karena raja membaca surat tersebut yang artinya kurang lebih telah datang kepadamu seorang hamba beserta tujuh puluh dinar.
Hikmah yang dapat diambil dari cerita ini adalah, betapa pentingnya titik dan tanda baca dalam sebuah tulisan. Karena tanpa keduanya kita akan salah dalam membacanya dan memahami artinya. Betapa sangat luar biasa sekali Al-Qur’an yang kita miliki sehingga dapat kita baca dengan mudah saat ini, yang hurufnya sudah jelas dan lengkap dengan titik, tanda baca dan waqafnya.


Begitulah kami mengakhiri perkuliahan, dengan masih banyak pertanyaan yang muncul dibenak kami. Dan apa yang disampaikan penulis disini berdasarkan pemahaman penulis terhadap apa yang disampaikan di siang tersebut. So, jika ada yang kurang tepat dibetulkan saja..karena penulis adalah seorang manusia yang tak bisa lepas dari salah dan lupa.

Aku Adalah K(opi)

Aku dilahirkan bukan dari seorang pecinta kopi, akupun dulu tak kenal apa itu kopi. Hanya yang kuingat ketika  masih duduk dibangku Taman Kanak-kanak setiap paginya aku selalu meminum satu cawan kopi hitam. Pada saat itu nenekku selalu meminum kopi dipagi hari sehingga ketika bangun tidur aku turut menikmati satu cawannya sebelum berangkat ke sekolah.
Pada waktu itu ngopi belum menjadi tradisi anak muda. Kopi hanya dinikmati oleh para orang tua baik laki-laki ataupun perempuan, itu yang aku ingat. Kebiasaan diminumi kopi itupun tak lantas menjadi candu bagiku. Ketika nenekku berhenti ngopi aku pun tak pernah melanjutkan kebiasaan itu.
Hingga aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun beda halnya ketika aku hidup ditanah rantau ketika menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas. Di hidupku masa ini aku mulai tertarik dengan kopi, namun masih sebatas kopi instan. Padahal aku hidup disebuah kota yang sangat terkenal dengan kopi leletnya. Aku tau kebiasaan ngopi disini sudah dilakoni para anak muda. Ada sebuah warung kopi terkenal yang wajib dikunjungi ketika kita singgah di kota kecil ini. Pak John, begitulah kawan-kawanku menyebutnya. Mereka para kaum adam hampir semuanya tahu kopi pak John.
Namun sekali lagi di kota ini budaya ngopi adalah budayanya kaum adam. Saya sebagai kaum hawa hanya bisa menikmati kopi instan yang setiap saat bisa kuseduh di tanah rantau ini, tanahnya para pecinta kopi. Lambat laun, aku tak berani lagi menyeduh kopi walau itu adalah kopi instan karena ada masalah pada lambungku jika terkena caffein dari kopi.  Namun keberpalinganku tak berlangsung lama, aku mulai tak menghiraukan setiap kali sakit yang kurasa dari secangkir kopi, dan lama-lama aku kebal akan hal itu.
Beranjak dari kota kopi aku menuju tanah rantau yang lain, yang lebih jauh dari tanah rantau pertama. Disini aku berkawan dengan orang-orang kelelawar, yah mereka yang sukanya melek dimalam hari dan tidur dipagi  hari. Ketika malam mereka selalu ditemani secangkir kopi hitam, dan bahkan terkadang pahit. Karena bagi mereka laki-laki kopinya harus hitam, kalau tidak itu namanya banci. Diperantauan ini saya hanya menjumpai dua kopi, yaitu kopi hitam dan kopi instan yang aku belum bisa memahami cara menikmatinya, aku hanya sebatas ikut-ikutan kebiasaan kawan-kawan saat kita kumpul nongkrong.
Selang waktu berjalan aku berkawan dengan orang-orang lintas daerah, ada sebuah daerah yang peradaban ngopinya sangat tinggi. Di kota itulah aku mulai tertarik dengan kopi lagi. Aku diperkenalkan kopi dari macam-macam daerah, aku diajari cara meracik kopi hingga itu bisa jadi sebuah kopi yang diberi nama kopasus, sukop, kopasus kotok, kotok manis, kopaja dan banyak lagi lainnya. Dari sini aku belajar bagaimana pentingnya menjaga rasa kopi itu sendiri walau sudah dicampur gula, susu ataupun jahe. Mereka mengajariku bahwa cara peracikan yang berbeda akan menghasilkan rasa kopi yang berbeda.
Dari ini aku menjadi penikmat kopi, ya..sekali lagi penikmat belum pecinta kopi. Kopi ibarat sesuatu yang selalu disediakan Tuhan bagiku. Bagaimana tidak, setiap belum habis kopiku pasti ada yang memberiku kopi. Dari kopi kediri, salatiga, malang dan gersik hingga kopi-kopi lokal jika aku singgah di sebuah daerah.
Setelah dari kota kedua aku melanjutkan perantauan lagi ke kota ketiga. Disini peradaban ngopi sudah sangat tinggi. Banyak anak muda yang berkumpul untuk belajar di kota yang ketiga ini. Dan kesemuanya itu ditunjang dengan banayaknya pula warung kopi. Ada yang buka 24 jam, ada juga yang buka malam hingga dini hari. Yang sama dari semuanya adalah tempat-tempat itu takpernah sepi dari para pemuda. Warung kopi adalah arena yang sangat nyaman untuk berdiskusi, berdialektika, serta bertukar pikiran antara beberapa orang.
Namun, dari semua ini tak banyak orang yang setuju dengan apa yang saya ungkapkan. Beberapa orang masih memandang negatif warung kopi, terutama jika seorang perempuan turut menikmati kopi ditempat tersebut. Wajar saja jika demikian, kita tak bisa menyeragamkan pandangan orang-orang. Karena masing-masing dari mereka berhak dalam subjektivitasnya masing-masing.
Dari sekian perjalanan yang saya alami bersama kopi, kini kopi menjadi sesuatu yang tak bisa terpisahkan dari hidupku. Bukan hanya kopi, ampas kopi pun turut menjadi mainan tersendiri bagiku, ketika waktu luang aku menghabiskan waktuku memadukan ampas kopi pada media kertas, apapun itu bagai manapun hasilnya aku menyebutnya coffe art. Jika merasa pusing, atau tak enak badan obatku hanya satu yaitu kopi. Entah mengapa aku masih belum menemukan jawabannya, hanya saja aku merasa dunia akan selalu baik-baik saja jika kita bersama secangkir kopi. Secangkir kopi yang tak bisa aku definisikan kenikmatannya.

(K)opi Senja

Batu, 27-2-2015

Islam Indonesia; Sebuah Sintesis


 “Wahyu bukanlah sesuatu yang berada diluar konteks yang kukuh tak berubah. Wahyu selalu berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan”.
Indonesia tak pernah lekang dari permasalahan radikalisme, terutama yang berhubungan dengan agama. banyak gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam, yang suka membunuh sesama dengan dalil jihad fi sabilillah gerakan-gerakan tersebut pernah menjamur di Indonesia. Orang-orang tersebut hanya kurang bisa memahami wahyu yang diturunkan Tuhan secara kontekstual. Sehingga muncullah truth claim yang begitu saja mengesampingkan sikap tasamuh atau toleran. Padahal dalam Al-Qur’an sangat dianjurkan untuk saling mengenal antara sesama makhluk ciptaan Allah. Namun pemahaman yang salah terhadap wahyu dapat melahirkan gerakan-gerakan radikal yang sangat merugikan bangsa dan agama.
Sangat jelas sekali, apa yang mereka (red, gerakan radikal) lakukan sangat menciderai ideologi bangsa kita, yaitu pancasila. Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya mempunyai harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Karna kita tahu bahwa Indonesia sangat heterogen sekali masyarakatnya, dalam hal agama, suku, ras serta budaya. Kita harus tetap menjaga apa yang menjadi warisan masing-masing leluhur kita, sehingga kita harus berdiri diatas perbedaan-perbedaan tersebut dan bersatu padu memnjadi Indonesia. Hal ini pun senada dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Maka dari itu sebagai warga Negara yang baik, kita harus selalu berpegang teguh pada nilai-nila pancasila, serta tidak mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok atau organisasi yang tidak jelas ideologinya serta menyimpang dari ideologi luhur bangsa.
Dialektika Islam
Islam meupakan agama Rahmatan lil alamin yang mampu berdialektika dengan berbagai budaya pada tiap lokusnya. Ajaran-ajaran Islam mampu berkolaborasi baik dengan budaya dan peradaban disuatu daerah. Hingga dalam sebuah diktum dikatakan al-adah muhakkamah, adat masyarakat bisa dijadikan sumber Islam. Artinya hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari’at seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan serta bentuk bangunan masjid. Islam itu adalah agama rahmat, jadi jangan dibuat seram dan menakutkan sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris yang mengatasnamakan Islam, dan seolah-olah mereka adalah pejuang Islam.
Islam masuk dan berbaur dalam suatu daerah tentu saja tidak dalam keadaan budaya yang kosong. Arab misalnya, Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad di daerah ini. Secara historis semua orang mengetahui bahwa Arab pada masa itu sudah memiliki budaya yang kuat dan mengakar, yaitu budaya kaum-kaum jahiliyah. Dalam konteks ini Islam mampu berdialektika dengan budaya Arab pra Islam, sedikit demi sedikit ajaran Islam masuk dan berbaur dengan budaya tersebut. Pada saat itu Nabi tak lantas dengan sekaligus memberangus budaya pra Islam dan menggatikannya dengan budaya sebagaimana Islam mensyari’atkannya.
Islam itu datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju sebuah kehidupan yang dinamis dan harmonis. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut sebuah masyarakat, akan tetapi Islam menginginkan agar umatnya jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermartabat dan membawa madlarat didalam kehidupannya. Sehingga dalam hal ini Islam perlu meluruskannya dan membimbing kebudayaan yang berkembang dimasyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadits.
Islam itu ramah bukan marah, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari sang guru besar kira, Gus Dur. Ungkapan tersebut sederhana namun mengandung makna yang dalam, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, atau saling membunuh. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap ramah, saling mengasihi, saling menyayangi terhadap semua ciptaan Allah.
Sebuah Sintesis
Ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya Hindu Budha yang terlebih dahulu singgah dan mengakar pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun Islam mampu berdialektika dengan budaya sebelumnya sehingga menghasilkan sintesa baru berupa Islam Indonesia dan tentunya tidak sedikitpun mengurangi hal-hal yang bersifat Ushuliyah atau hubungan kita dengan Tuhan karena itu merupakan esensi Islam. Sesuatu yang bersifat ushuliyah tersebut, manusia tidak punya wewenang untuk merubahnya, karena hal tersebut mutlak adanya, dan perubahan daripadanya akan menghilangkan esensi dari Islam.
Berbeda halnya dengan sesuatu yang bersifat furu’iyah, unsur lokalitas sangat mempengaruhi sesuatu yang bersifat furu’iyah. Sebuah contoh, bahwasanya Islam Indonesia merupakan sebuah sintesa antara wahyu dan tradisi lokal. Sholat adalah merupakan perintah dari Allah yang termaktub dalam al-Qur’an (red, wahyu), dan dalam hal ini sholat bersifat ushuliyah karena merupakan bentuk hubungan langsung antara seorang hamba dan sang pencipta. Dalam sholat kita diwajibkan untuk menutup aurat yang merupakan syarat sahnya sholat. Namun, sesuatu yang kita gunakan untuk menutup aurat itu bersifat furu’iyah yang tentunya sangat memperhatikan unsur lokalitas.
Di Negara Arab menutup aurat bisa dilakukan dengan memakai sarung tangan, kaos kaki, busana muslim, jubah, sorban serta cadar. Berbeda halnya dengan Indonesia kita mengenal adanya mekena, baju koko, sarung dan juga peci yang semuanya itu juga dapat kita gunakan dalam sholat, dan esensinya pun sama yaitu menutup aurat, dan itu adalah merupakan identitas masing-masing bangsa tergantung dimana kita tinggal.
Bentuk lain dari proses dialektika Islam dengan budaya lokal adalah tradisi sedekah bumi atau nyadran. Dahulu sebelum Islam dating di Indonesia tradisi ini dilakukan dengan ritual-ritual penyembahan, namun ketika Islam datang pemujuaan-pemujaan tersebut ditujukan hanya kepada dzat yang maha suci yaitu Allah SWT, tiak lagi pada pohon atau batu besar. Tradisi-tradisi seperti ini yang merupakan identitas dari Islam kita yaitu Islam Indonesia yang merupakan sintesis dari adanya wahyu dan budaya bangsa.