Belajar Sejarah

 10 Maret 2015, 3 SKS ke dua pun di mulai. Hari ini dosen datang agak telat, dikarenakan suatu hal. Ini adalah kali pertama presentasi dilakukan dengan tema pembahasan kodifikasi mushaf Utsmani. Sebenarnya ada dua pemakalah, namun hanya satu yang bisa menghantarkan kita menuju pembahasan. Presentasi perdana dimulai, kondisi audience agak tidak kondusif karena tidak ada paper yang mereka pegang, juga tak ada slide yang harus mereka amati, hanya ada suara dari sang presenter yang menjelaskan. Awalnya saya merasa bosan, karena bingung dengan alur pembahasan tema tersebut. Setelah pemakalah menjelaskan dan terjadi diskusi yang cukup ruwet di dalam kelas akhirnya dosenpun turun tangan, karena menurut beliau (dosen) pembahasan kita terlalu kemana-mana. Dosen pun mengambil alih perannya, sebagai pelurus apa-apa yang kurang tepat dalam diskusi yang berlangsung. Pembahasan diawali dengan sejarah kodifikasi Al-Qur’an.
Ternyata dibalik kitab suci yang sekarang ini berada di tangan kita, ada sebuah perjuangan yang sangat besar sekali, melalui waktu yang panjang dan tenaga yang ekstra. Betapa tidak, kitab suci yang sehari-hari bisa kita baca sekarang ini dahulu kala pada zaman  Nabi dijaga Nabi dan para sahabat dengan di hafalkan. Namun, ada beberapa sahabat yang menulisnya di kulit binatang, batu, pelepah kurma ataupun tulang-tulang. Semua itu dilakukan karena kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an. Setelah Nabi Wafat, penjagaan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan yang berada pada media-media tersebut, dan itu atas usulan Umar bin Khattab karena pada masa Abu bakar banyak dari penghafal Al-Qur’an yang wafat dalam perang Riddah. Maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan tulisan tersebut menjadi sebuah buku. Yang ketika Abu bakar wafat mushaf tersebut disimpan oleh salah satu Istri Nabi yaitu Hafsah.
Dalam proses pengumpulan yang dilakukan oleh zaid bin Tsabit membutuhkan waktu 6-8 tahun, yang itu dilakukan di masjid. Betapa usaha yang sangat besar untuk melakukan hal tersebut. Mengingat tidak ada data yang pasti terkait hal ini, yang ada hanya mereka para penghafal yang kemudian datang kepada Zaid dan menyetorkan hafalannya, dan diklarifikasi riwayat darimana orang tersebut mendapat hafalannya. Apakah sampai kepada Nabi ataukah tidak, dan jika sampai pada Nabi harus pula dihadirkan dua orang saksi bahwa orang tersebut mendapat ayat-ayat tersebut dari Nabi.
Sebenarnya apa yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit bukanlah berupa tulisan, namun lebih kepada rasm (gambar, lukisan, tanda ataupun simbol) karena memang mushaf Usmani itu lebih berupa seperti simbol-simbol untuk menjaga hafalan para penghafal Qur’an, yang bisa membaca adalah mereka yang hafal Qur’an. Sehingga atas rasm tersebut sering mendapat kritik dari para orientalis, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an sudah tidak orisinil karena tidak sama dengan tulisan yang ada pada mushaf  Utsmani (yang mereka anggap teks asli). Dan disini dijelaskan bahwa itu bukan merupakan tulisan, melainkan rasm. Jadi sangat salah sasaran jika yang dijadikan dasar rasm tersebut. Karena bukti utama adalah berupa hafalan yang jika diruntut sampai pada Nabi dan dibuktikan dengan dua orang saksi.
Pembukuan Al-Qur’an dilanjutkan pada masa Utsman bin Affan, karena melihat pada saat itu banyak bacaan yang berbeda antar umat Islam yang sandarannya tidak pada Nabi namun pada masing-masing suku. Dan Utsman juga menginstruksikan bahwa mushaf yang tidak resmi harap dibakar, jadi mushaf yang resmi adalah yang digarap oleh negara dibawah komando Zaid bin Tsabit dengan memperhatikan berbagai macam qira’at yang ada yang sandarannya kepada Nabi. Pembakaran tersebut bertujuan untuk : pertama, menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya. Kedua  menyatukan bacaan kendatipun masih ada perbedaan, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Usmani. Ketiga menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang ini. Terkait dengan poin ketiga sempat ada perdebatan tentang surat mu’awwidatain (Al-Alaq dan An-Nas) menurut Ibnu Mas’ud dua surat ini tidak termasuk dalam Al-qur’an. Karena dianggap dua ayat ini sebagai mantra, melihat ketika Nabi mendapat dua ayat ini adalah ketika Nabi terkena sihir.
Tentang perbedaan qira’at ada sebuah hadits yang menceritakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat bernama Hisyam bin Khakam menjadi imam dalam sebuah sholat. Dan dalam sholat tersebut sahabat Umar turut sebagai makmum. Dalam bacaan shalat dialek yang digunakan Hisyam tidak sama dengan yang digunakan Umar, yang dalam kisahnya Umar merasa geram terhadap Hisyam. Karena apa yang diajarkan Nabi kepadanya tidak sesuai dengan apa yang dibaca Hisyam pada bacaan shalat tersebut. Usai shalat Umar langsung mendekati Hisyam, dan keduanya berdebat tentang qira’at. Umar menyatakan bahwa bacaan yang diajarkan Nabi bukan seperti itu (yang dibaca Hisyam). Hisyam pun menyatakan bahwa apa yang ia baca itu juga ia dapat dari Nabi. Keduanya pun datang kepada Nabi dengan menceritakan permasalahan yang ada. Mulanya Nabi menyuruh Hisyam membaca, dan Nabi berkomentar, ya memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian ganti umar yang membaca dan Nabi pun berkomentar sama, ya seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian Nabi menambahkan: Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang menurut kalian ringan.
Ada berbagai macam pendapat mengenai dialek, ada pendapat yang mengatakan bahwa para penghafal membaca di depan Nabi dengan dialek mereka masing-masing dan Nabi membolehkannya. Pendapat satunya mengatakan bahwa memang Nabi mengajarkan bacaan kepada sahabat dengan dialek yang berbeda-beda. Dan jika kita lihat dari cerita diatas sepertinya pendapat kedua yang lebih cocok. Karena pada cerita tersebut baik Hisyam ataupun Umar mendapat bacaannya dari Nabi.
Banyak terjadi beda penafsiran atas tujuh huruf  yang disabdakan Nabi, ada yang menafsirkan tujuh huruf itu adalah qira’ah sab’ah, ada juga yang menafsirkan tujuh itu adalah mewakili banyaknya keberagaman bacaan yang ada. Namun dalam hal ini Abu Bakar Ibnu Mujahid seorang pemerhati Qira’at mengambil dari berbagai daerah, sehingga terakumulasilah qira’ah sab’ah diantaranya: Dari madinah : Nafi’, dari Makkah: ibnu Katsir, dari basrah: Ibnu ‘Amr dan Abu Umar, dari Kufah ada Ashim, Khumroh dan Ali Al-Kisa’i.
Setelah penulisan Al-Qur’an Utsman mengirimkan Al-Qur’an ke setiap kota besar. Pada mushaf utsmani ini penulisan belum disertai dengan titik ataupun tanda baca. Setelah masa utsman baru ada penyempurnaan berupa penambahan titik dan tanda baca.
Sedikit cerita dari dosen disela perkuliahan siang itu, bahwa begitu pentingnya titik beserta tanda bacanya dan diceritakanlah sebuah kisah:
Pada suatu hari ada seorang yang diutus untuk mengantarkan sebuah surat dan satu koper uang kepada seorang raja. Di tengan perjalanan orang tersebut membuka suratnya dan terdapat tulisan yang orang tersebut membacanya ايك نعبد و ايا ك نستعين padahal di surat tersebut tidak ada titik dan tanda bacanya. Kemudia ia kuburlah uang didalam koper tersebut karena ia berfikir tidak ada hubungan antara isi surat tersebut dengan uang yang ia bawa. Sampailah orang tersebut kepada raja, dan ia serahkan pula surat tersebut. Raja bertanya kepada orang tersebut, apa saja yang dititipkan kepadanya, apakah hanya surat itu atau ada yang lain. Orang itu menjawab bahwa yang dititipkan padanya hanya surat itu. Seketika itu pula raja memerintah kepada pengawalnya untuk memenjarakan orang tersebut, karena raja membaca surat tersebut yang artinya kurang lebih telah datang kepadamu seorang hamba beserta tujuh puluh dinar.
Hikmah yang dapat diambil dari cerita ini adalah, betapa pentingnya titik dan tanda baca dalam sebuah tulisan. Karena tanpa keduanya kita akan salah dalam membacanya dan memahami artinya. Betapa sangat luar biasa sekali Al-Qur’an yang kita miliki sehingga dapat kita baca dengan mudah saat ini, yang hurufnya sudah jelas dan lengkap dengan titik, tanda baca dan waqafnya.


Begitulah kami mengakhiri perkuliahan, dengan masih banyak pertanyaan yang muncul dibenak kami. Dan apa yang disampaikan penulis disini berdasarkan pemahaman penulis terhadap apa yang disampaikan di siang tersebut. So, jika ada yang kurang tepat dibetulkan saja..karena penulis adalah seorang manusia yang tak bisa lepas dari salah dan lupa.

Aku Adalah K(opi)

Aku dilahirkan bukan dari seorang pecinta kopi, akupun dulu tak kenal apa itu kopi. Hanya yang kuingat ketika  masih duduk dibangku Taman Kanak-kanak setiap paginya aku selalu meminum satu cawan kopi hitam. Pada saat itu nenekku selalu meminum kopi dipagi hari sehingga ketika bangun tidur aku turut menikmati satu cawannya sebelum berangkat ke sekolah.
Pada waktu itu ngopi belum menjadi tradisi anak muda. Kopi hanya dinikmati oleh para orang tua baik laki-laki ataupun perempuan, itu yang aku ingat. Kebiasaan diminumi kopi itupun tak lantas menjadi candu bagiku. Ketika nenekku berhenti ngopi aku pun tak pernah melanjutkan kebiasaan itu.
Hingga aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun beda halnya ketika aku hidup ditanah rantau ketika menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas. Di hidupku masa ini aku mulai tertarik dengan kopi, namun masih sebatas kopi instan. Padahal aku hidup disebuah kota yang sangat terkenal dengan kopi leletnya. Aku tau kebiasaan ngopi disini sudah dilakoni para anak muda. Ada sebuah warung kopi terkenal yang wajib dikunjungi ketika kita singgah di kota kecil ini. Pak John, begitulah kawan-kawanku menyebutnya. Mereka para kaum adam hampir semuanya tahu kopi pak John.
Namun sekali lagi di kota ini budaya ngopi adalah budayanya kaum adam. Saya sebagai kaum hawa hanya bisa menikmati kopi instan yang setiap saat bisa kuseduh di tanah rantau ini, tanahnya para pecinta kopi. Lambat laun, aku tak berani lagi menyeduh kopi walau itu adalah kopi instan karena ada masalah pada lambungku jika terkena caffein dari kopi.  Namun keberpalinganku tak berlangsung lama, aku mulai tak menghiraukan setiap kali sakit yang kurasa dari secangkir kopi, dan lama-lama aku kebal akan hal itu.
Beranjak dari kota kopi aku menuju tanah rantau yang lain, yang lebih jauh dari tanah rantau pertama. Disini aku berkawan dengan orang-orang kelelawar, yah mereka yang sukanya melek dimalam hari dan tidur dipagi  hari. Ketika malam mereka selalu ditemani secangkir kopi hitam, dan bahkan terkadang pahit. Karena bagi mereka laki-laki kopinya harus hitam, kalau tidak itu namanya banci. Diperantauan ini saya hanya menjumpai dua kopi, yaitu kopi hitam dan kopi instan yang aku belum bisa memahami cara menikmatinya, aku hanya sebatas ikut-ikutan kebiasaan kawan-kawan saat kita kumpul nongkrong.
Selang waktu berjalan aku berkawan dengan orang-orang lintas daerah, ada sebuah daerah yang peradaban ngopinya sangat tinggi. Di kota itulah aku mulai tertarik dengan kopi lagi. Aku diperkenalkan kopi dari macam-macam daerah, aku diajari cara meracik kopi hingga itu bisa jadi sebuah kopi yang diberi nama kopasus, sukop, kopasus kotok, kotok manis, kopaja dan banyak lagi lainnya. Dari sini aku belajar bagaimana pentingnya menjaga rasa kopi itu sendiri walau sudah dicampur gula, susu ataupun jahe. Mereka mengajariku bahwa cara peracikan yang berbeda akan menghasilkan rasa kopi yang berbeda.
Dari ini aku menjadi penikmat kopi, ya..sekali lagi penikmat belum pecinta kopi. Kopi ibarat sesuatu yang selalu disediakan Tuhan bagiku. Bagaimana tidak, setiap belum habis kopiku pasti ada yang memberiku kopi. Dari kopi kediri, salatiga, malang dan gersik hingga kopi-kopi lokal jika aku singgah di sebuah daerah.
Setelah dari kota kedua aku melanjutkan perantauan lagi ke kota ketiga. Disini peradaban ngopi sudah sangat tinggi. Banyak anak muda yang berkumpul untuk belajar di kota yang ketiga ini. Dan kesemuanya itu ditunjang dengan banayaknya pula warung kopi. Ada yang buka 24 jam, ada juga yang buka malam hingga dini hari. Yang sama dari semuanya adalah tempat-tempat itu takpernah sepi dari para pemuda. Warung kopi adalah arena yang sangat nyaman untuk berdiskusi, berdialektika, serta bertukar pikiran antara beberapa orang.
Namun, dari semua ini tak banyak orang yang setuju dengan apa yang saya ungkapkan. Beberapa orang masih memandang negatif warung kopi, terutama jika seorang perempuan turut menikmati kopi ditempat tersebut. Wajar saja jika demikian, kita tak bisa menyeragamkan pandangan orang-orang. Karena masing-masing dari mereka berhak dalam subjektivitasnya masing-masing.
Dari sekian perjalanan yang saya alami bersama kopi, kini kopi menjadi sesuatu yang tak bisa terpisahkan dari hidupku. Bukan hanya kopi, ampas kopi pun turut menjadi mainan tersendiri bagiku, ketika waktu luang aku menghabiskan waktuku memadukan ampas kopi pada media kertas, apapun itu bagai manapun hasilnya aku menyebutnya coffe art. Jika merasa pusing, atau tak enak badan obatku hanya satu yaitu kopi. Entah mengapa aku masih belum menemukan jawabannya, hanya saja aku merasa dunia akan selalu baik-baik saja jika kita bersama secangkir kopi. Secangkir kopi yang tak bisa aku definisikan kenikmatannya.

(K)opi Senja

Batu, 27-2-2015

Islam Indonesia; Sebuah Sintesis


 “Wahyu bukanlah sesuatu yang berada diluar konteks yang kukuh tak berubah. Wahyu selalu berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan”.
Indonesia tak pernah lekang dari permasalahan radikalisme, terutama yang berhubungan dengan agama. banyak gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam, yang suka membunuh sesama dengan dalil jihad fi sabilillah gerakan-gerakan tersebut pernah menjamur di Indonesia. Orang-orang tersebut hanya kurang bisa memahami wahyu yang diturunkan Tuhan secara kontekstual. Sehingga muncullah truth claim yang begitu saja mengesampingkan sikap tasamuh atau toleran. Padahal dalam Al-Qur’an sangat dianjurkan untuk saling mengenal antara sesama makhluk ciptaan Allah. Namun pemahaman yang salah terhadap wahyu dapat melahirkan gerakan-gerakan radikal yang sangat merugikan bangsa dan agama.
Sangat jelas sekali, apa yang mereka (red, gerakan radikal) lakukan sangat menciderai ideologi bangsa kita, yaitu pancasila. Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya mempunyai harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Karna kita tahu bahwa Indonesia sangat heterogen sekali masyarakatnya, dalam hal agama, suku, ras serta budaya. Kita harus tetap menjaga apa yang menjadi warisan masing-masing leluhur kita, sehingga kita harus berdiri diatas perbedaan-perbedaan tersebut dan bersatu padu memnjadi Indonesia. Hal ini pun senada dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Maka dari itu sebagai warga Negara yang baik, kita harus selalu berpegang teguh pada nilai-nila pancasila, serta tidak mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok atau organisasi yang tidak jelas ideologinya serta menyimpang dari ideologi luhur bangsa.
Dialektika Islam
Islam meupakan agama Rahmatan lil alamin yang mampu berdialektika dengan berbagai budaya pada tiap lokusnya. Ajaran-ajaran Islam mampu berkolaborasi baik dengan budaya dan peradaban disuatu daerah. Hingga dalam sebuah diktum dikatakan al-adah muhakkamah, adat masyarakat bisa dijadikan sumber Islam. Artinya hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari’at seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan serta bentuk bangunan masjid. Islam itu adalah agama rahmat, jadi jangan dibuat seram dan menakutkan sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris yang mengatasnamakan Islam, dan seolah-olah mereka adalah pejuang Islam.
Islam masuk dan berbaur dalam suatu daerah tentu saja tidak dalam keadaan budaya yang kosong. Arab misalnya, Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad di daerah ini. Secara historis semua orang mengetahui bahwa Arab pada masa itu sudah memiliki budaya yang kuat dan mengakar, yaitu budaya kaum-kaum jahiliyah. Dalam konteks ini Islam mampu berdialektika dengan budaya Arab pra Islam, sedikit demi sedikit ajaran Islam masuk dan berbaur dengan budaya tersebut. Pada saat itu Nabi tak lantas dengan sekaligus memberangus budaya pra Islam dan menggatikannya dengan budaya sebagaimana Islam mensyari’atkannya.
Islam itu datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju sebuah kehidupan yang dinamis dan harmonis. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut sebuah masyarakat, akan tetapi Islam menginginkan agar umatnya jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermartabat dan membawa madlarat didalam kehidupannya. Sehingga dalam hal ini Islam perlu meluruskannya dan membimbing kebudayaan yang berkembang dimasyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadits.
Islam itu ramah bukan marah, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari sang guru besar kira, Gus Dur. Ungkapan tersebut sederhana namun mengandung makna yang dalam, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, atau saling membunuh. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap ramah, saling mengasihi, saling menyayangi terhadap semua ciptaan Allah.
Sebuah Sintesis
Ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya Hindu Budha yang terlebih dahulu singgah dan mengakar pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun Islam mampu berdialektika dengan budaya sebelumnya sehingga menghasilkan sintesa baru berupa Islam Indonesia dan tentunya tidak sedikitpun mengurangi hal-hal yang bersifat Ushuliyah atau hubungan kita dengan Tuhan karena itu merupakan esensi Islam. Sesuatu yang bersifat ushuliyah tersebut, manusia tidak punya wewenang untuk merubahnya, karena hal tersebut mutlak adanya, dan perubahan daripadanya akan menghilangkan esensi dari Islam.
Berbeda halnya dengan sesuatu yang bersifat furu’iyah, unsur lokalitas sangat mempengaruhi sesuatu yang bersifat furu’iyah. Sebuah contoh, bahwasanya Islam Indonesia merupakan sebuah sintesa antara wahyu dan tradisi lokal. Sholat adalah merupakan perintah dari Allah yang termaktub dalam al-Qur’an (red, wahyu), dan dalam hal ini sholat bersifat ushuliyah karena merupakan bentuk hubungan langsung antara seorang hamba dan sang pencipta. Dalam sholat kita diwajibkan untuk menutup aurat yang merupakan syarat sahnya sholat. Namun, sesuatu yang kita gunakan untuk menutup aurat itu bersifat furu’iyah yang tentunya sangat memperhatikan unsur lokalitas.
Di Negara Arab menutup aurat bisa dilakukan dengan memakai sarung tangan, kaos kaki, busana muslim, jubah, sorban serta cadar. Berbeda halnya dengan Indonesia kita mengenal adanya mekena, baju koko, sarung dan juga peci yang semuanya itu juga dapat kita gunakan dalam sholat, dan esensinya pun sama yaitu menutup aurat, dan itu adalah merupakan identitas masing-masing bangsa tergantung dimana kita tinggal.
Bentuk lain dari proses dialektika Islam dengan budaya lokal adalah tradisi sedekah bumi atau nyadran. Dahulu sebelum Islam dating di Indonesia tradisi ini dilakukan dengan ritual-ritual penyembahan, namun ketika Islam datang pemujuaan-pemujaan tersebut ditujukan hanya kepada dzat yang maha suci yaitu Allah SWT, tiak lagi pada pohon atau batu besar. Tradisi-tradisi seperti ini yang merupakan identitas dari Islam kita yaitu Islam Indonesia yang merupakan sintesis dari adanya wahyu dan budaya bangsa.

Kopi, Senja dan Pelangi


Kopi, adalah sosok bijaksana berkarisma dan punya jiwa leadership yang kuat. Sementara senja adalah sosok apa adanya. Dia bisa dalam segala hal dalam porsinya, artinya ia tak punya keunggulan dalam satu bidangpun, namun ia selalu bisa untuk menjadi apa yang dituntutkan kepadanya. Sedangkan pelangi ia adalah sosok yang cekatan, lemah lembut, dan juga misterius, (menurut si kopi). Cerita ini mengisahkan antara karakter-karakter yang berkamuflase dalam tokoh kopi, senja dan pelangi.
Berawal dari pertemuan cangkir kopi pada suatu senja, itu adalah senja yang sangat indah dimana langit berwarna keemasan dan menunjukkan keanggunannya. Terjadi dialog cukup panjang antara kopi dan senja. Mulai dari berbincang tentang hal pribadi, sengkarut negara kecil, hingga sengkarut negara besar. Karena memang pada saat itu kopi dan senja sedang dalam keadaan memegang pucuk pimpinan sebuah negara kecil. Dalam waktu ini kawan kopi dan kawan senja meminta kepada kopi dan senja agar mereka berkoalisi, entah misi apa yang kawan kopi dan senja bawa sehingga harus mempersatukan kutub barat dan timur negara kecil, mungkin mereka bosan dengan drama yang dipertontonkan elit politik negara besar.
Kopi dan senja tak pernah menghiraukan ocehan kawan-kawan, mereka terus berdialog tentang apa saja. Dari situ senja kagum terhadap kopi, pemikirannya yang visioner dan bijaksana layak membawa dirinya menjadi presiden negara kecil. Dengan pulang membawa rasa kagumnya senjapun meninggalkan kopi menuju kutub asalnya, negara timur. Sementara kopi pemilik kutub negara barat menjalani kehidupannya sebagaimna biasanya, namun sekali lagi tak ada yang bisa mengklarifikasi apa yang dirasakan dan dialami kopi setelah bertemu senja.
Kopi dan senja adalah padanan yang cocok yang Tuhan ciptakan diantara milyaran ciptaan-Nya. Namun apa daya, senja tetaplah senja ia adalah sesuatu yang akan muncul ketika waktunya tiba walau kadang senja tak seindah yang orang inginkan, menampakkan sinar keemasan dan semburat jingga diufuk barat, namun senja akan selalu ada dengan apa adanya. Jika kita beruntung kita dapat menjumpai senja yang indah, namun jika tidak kita juga akan tetap menyebut itu adalah waktu senja walau tanpa semburat jingga.
Pelangi juga merupakan sosok yang hebat, layaknya kopi dan senja. Ia merupakan bagian penting disebuah negara kecil yang lain. Menurut kopi pelangi adalah sosok yang cerdas dan misterius. Yang sangat lebih baik dan lebih indah jika dibandingkan dengan senja. Lalu kopipun merapat pada pelangi, membangun sebuah visi bersama yang tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan oleh senja sekalipun.
Senja tak seperti pelangi, yang ia jauh lebih indah dan lebih kaya warna dari pada hanya sekedar semburat jingga. Pelangi punya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu tak seperti senja yang hanya punya jingganya. Senjapun tak pernah tau bagaimana sebenarnya pelangi itu, ia hanya tahu pelangi dari hasil bacanya terhadap tulisan kopi yang ia sendiri tidak tau seberapa besar subjektivitas kopi dalam mendefinisikan pelangi. Yang senja tahu pelangi adalah sosok sempurna yang sangat diharapkan kopi, dan senja sangat jauh jika dibandingkan dengan pelangi.
Senja hanya bisa terdiam menikmati keindahan kopi pelangi yang baginya harus terpaksa berucap indah, padahal tidak demikian rasanya. Senja selalu ingat apa yang disampaikan kopi kala senja pertama mereka dipertemukan. Namun sepertinya antara kopi dan senja memiliki jalannya masing-maasing hingga membuat kopi bermuara pada pelangi dan tak bertemu senja, kecuali jika takdir berkata lain.
Tak peduli dengan keindahan yang ala kadarnya senja tetaplah senja dengan satu warna jingganya, yang ia selalu ada tiap harinya walau kadang kita tak beruntung menyaksikan indahnya. Tapi ia tetap ada tiap harinya, tak seperti pelangi yang hanya muncul dalam waktu tertentu. Ahh..apalah itu baik senja atau pelangi selagi ada kopi akan ada negeri yang bersuka cita bukan berduka cita.

By: (k)Opi Senja
Batu, 26-2-2015

          

“Dialektika Islam dan Budaya Lokal”


”Wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan. (Prof. Hassan Hanafi)”
Sebuah pernyataan yang diungkapkan seorang pemikir progresif Islam dari Mesir tersebut, menggambarkan Islam sebgai agama yang rahmatan lil alamin. Yang mana Islam sebagai agama mampu mengkolaborasikan antara wahyu dan tradisi disebuah daerah. Sebut saja Arab, daerah dimana Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad. Islam mampu berdialektika dengan budaya Arab pada waktu itu, sehingga sedikit demi sedikit masyarakat dapat menerima kehadiran Islam. Kehadiran Islam di daerah Arab sangat memperhatikan unsur lokalitas daerah tersebut, dimana sebagian tradisi yang bersifat baik masih ada yang dipegang oleh masyarakat, dan itu tidak serta merta dihilangkan karena itu merupakan identitas budaya mereka.
Islam masuk dan berbaur dalam suatu wilayah tentu saja tidak dalam keadaan budaya yang kosong. Begitu pula ketika Islam masuk ke Indonesia, sebelumnya telah ada kebudayaan Hindu Budha yang terlebih dulu singgah dan mengakar dalam kehidupan masyarakat indonesia. Perlahan Islam datang dan mampu berdialektika dengan tradisi lokal, sehingga menghasilkan sintesasintesa baru perpaduan antara syariat Islam dan kondisi sosial di indonesia.
Berbicara masalah tradisi, masih banyak tradisi pra Islam yang masih bertahan hingga sekarang di indonesia, seperti acara slametan, sedekah bumi ataupun sedekah laut merupakan tradisi lokal pra Islam yang memang sebelum Islam datang masih dilakukan dengan ritual ritual, namun ketika Islam datang semua itu tidak langsung kita ganti dengan kebudayaan yang baru, melainkan kita hanya menggantinya dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Segala sesuatu yang dalam melakukannya dahulu dilakukan dengan ritual setelah Islam masuk ritual tersebut digantikan dengan doa doa.
Sebuah contoh bahwasanya Islam di Indonesia merupakan sintesa antara wahyu dan tradisi lokal. Sebut saja sholat, menurut syariat Islam salah satu syarat sah shalat adalah menutup aurat. Dari ini kita bisa melihat betapa indahnya Islam dalam mentranformasikan budaya lokal. Shalat dan menutup aurat adalah syariat, sedangkan mengenakan mekena, sarung, peci, baju koko adalah sebuah budaya yang ada di Indonesia. Hal ini tidak bisa kita samakan dengan tradisi di Arab. Sama sama shalat dengan syarat menutup aurat, tapi yang dikenakan di Arab sangatlah berbeda dari kita, tidak ada mekena ataupun sarung, yang ada jubah, cadar kaos kaki atau kaos tangan yang penting esensinya adalah menutup aurat, dan itu merupakan identitas diri mereka yang itu seuai dengan tradisi dimana mereka tinggal.

Dari sebuah contoh diatas kita dapat secara jelas menarik sebuah kesimpulan bahwasanya walaupun Islam itu datang pertama kali dari Arab, kita tidak bisa menerapkan tradisi tradisi dari daerah Arab ke Belahan bumi indonesia. Karena dapat kita lihat bahwasanya kita memiliki corak kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Proses penerapan Islam sesuai dengan daerah Arab akan membuat penduduk Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri.  Jadi biarkanlah Islam di indonesia ini berdialektika dengan budayaa lokal indonesia menghasilkan sintsanya sendiri yang tidak hilang dari esensi syari’at Islam.

Negeri ini Masih Indonesiaku



"Tanah airku tidak kulupakan kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh tidak kan hilang dalam kalbu, tanahku yang kucintai engkau kuhargai."

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2013 genap memasuki usianya yang ke-enam puluh delapan. sebuah usia yang bisa dibilang cukup matang untuk menunjukkan kemajuan-kemajuan yang telah kita capai yang tentunya membedakan kita dari negeri-negeri lain yang masih terjajah. Negara ini lahir dengan sejumlah asa yang besar dari masyaraakatnya, maka dari itu kemerdekaan adalah harga mati yang harus kita perjuangkan bersama. Enam puluh delapan tahun itu, yang katanya kita telah merdeka ternyata belum bisa membuat rakyat merdeka seutuhnya, masih banyak keterjajahan yang dirasakan masyarakat dalam menapaki kehidupan di bumi pertiwi ini.
Potret suram kehidupan rakyat miskin masih menjadi siluet yang dipertontonkan pada setiap harinya. Kesenjangan hidup yang terjadi antara golongan atas dan golongan bawah sangat begitu kentara, di negeri yang katanya makmur ini. Seperangkat aturan dalam perundang-undangan telah dibuat, harapannya untuk mencari keadilan. Namun sayang sekali, sesuatu yang bernama keadilan tak lagi dapat kita jumpai disini, di negeri yang berdasarkan pada keadilan sosial masyarakat Indonesia.
Hari ini, di negri ini banyak yang memperebutkan kuasa menjadi pemimpin, baik pemimpin pusat ataupun di masing-masing daerah. Namun lagi-lagi niat yang tulus untuk membangun bangsa malah terkontaminasi dengan rencana-rencana yang jauh dari kata memakmurkan rakyat. Logika pencalonan yang menggunakan logika dagang membuat pergeseran visi misi pembangunan bangsa. Logika dagang yang digunakan dalam pencalonan adalah ketika awal pencalonan mereka habis modal berapa, itu pula yang harus ditutup ketika menjabat, bahkan harus lebih dari modal awal. Sistim birokrasi yang sedemikian rupa perlu dibenahi mengingat nantinya kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh pihak birokrat yang akan sangat menentukan posisi rakyat kecil.
Demokrasi meminjam kata-kata John F Keneddy dalam pidatonya adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Kendati demikian teori berkata, namun Indonesia tidak memposisikan rakyat sebagai mana mestinya. Rakyat menjadi nomor sekian bila dibandingkan dengan urusan-urusan yang sifatnya politis, yang tentunnya dapat menguntungkan bagi pribadi maupun golongan tersebut. Kondisi suram ini tidak boleh kita langgengkan, perlu adanya rekonstruksi dalam sistim pemerintahan agar tidak terjadi  kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Bukan hanya carut-marutnya birokrasi pemerintahan, terdapat hal lain yang memang perlu untuk kita benahi diantaranya adalah masalah pendidikan, ekonomi, kesehatan, serta kesejahteraan rakyat. Sulitnya akses dalam bidang-bidang tersebut semakin menunjukkan kompleksitas masalah yang dialami bangsa yang katanya sudah merdeka ini. Bukan hanya itu, Indonesia juga banyak dihuni oleh para tikus berdasi yang menyebabkkan negri ini semakin miskin dan terpuruk.
Tidak hanya persoalan korupsi, namun perlu adanya peningkatan pada Sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena ketiganya merupakan sebuah mata rantai yang tidak boleh terputus. Karena dengan masyarakat yang sehat dan berpendidikan akan bisa meningkatkan perekomian dari masing-masing keluarga. Jika salah satu dari ketiga sektor tersebut berjalan tidak berimbang artinya ada salah satu dari ketiganya yang tidak diperhatikan maka akan terjadi ketimpangan dalam menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dengan usianya yang semakin matang, bangsa Indonesia harus melakukan perubahan besar dalam menatap masa depan bangsa yang cemerlang. Perlu adanya sinergitas dari pihak birokrasi serta  masyarakat secara umum untuk bersama-sama mengisi kemerdekaan Indonesia yang telah berhasil direbut oleh para pahlawan kita dengan kucuran darah dan nyawa.
Generasi muda mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki Indonesia yang hari ini sedang mengalami krisis multidimensi. Bagaimanapun kondisi negeri kita saai ini, negeri ini tetaplah indonesiaku. Maka dari itu dengan bersama-sama menjaga stabilitas politik dan ekonomi, maka akan terwujud kesejahteraan rakyat yang harapannya dapat mengharumkan nama Indonesia.