Pendidikan Kedisiplinan



Jam karet menjadi budaya laten yang harus dihilangkan, terutama dalam dunia pendidikan di perguruann tinggi. Mahasiswa maupun dosen seharusnya bisa menjadi contoh bagi bangsa ini dalam menerapkan pendidikan kedisiplinan. Namun, seakan jauh dari apa yang diharapkan, budaya-budaya jam karet justru masih berlaku di perguruan tinggi, yang seharusnya sudah khatam mengenai pendidikan kedisiplinan.
Kedisiplinan tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, namun dosen juga harus menerapkan, terutama dalam proses perkuliahan. Seringkali penerapan kedisiplinan itu hanya berlaku pada satu pihak yaitu mahasiswa saja. Bahkan, peraturan-peraturan keterlambatan itu diterapkan hanya untuk mahasiswa sedangkan dosen tidak demikian. Misalnya, batas telat mahasiswa hanya 15 menit selebihnya mahasiswa tidak dapat mengikuti perkuliahan. Dan dosen selaku yang membuat peraturan, bebas kapan saja masuk kelas. Jika peraturan hanya searah, tentu tidak mampu dijadikan solusi untuk mengurangi jam karet di sebuah lembaga pendidikan. Fenomena seperti itu menunjukkan tidak adanya sinergitas yang baik dalam membangun budaya disiplin.
Banyak kerugian yang ditimbulkan dari budaya jam karet terutama dalam proses perkuliahan. Jika ada mahasiswa ataupun dosen yang terlambat, maka hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi dalam proses belajar mengajar yang awalnya sudah fokus mendiskusikan sebuah permasalahan di dalam kelas. Terlebih lagi jika keterlambatan itu datang dari dosen maka hal tersebut semakin menunjukkan bahwasanya dosen yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswanya belum bisa menerapkan pendidikan kedisiplinan.
Untuk mengurangi budaya jam karet, patut diberlakukan beberapa strategi untuk mengurangi keterlambatan. Pertama, harus ada kesadaran dari masing-masing pihak terkait pentingnya waktu. Kedua, diberlakukannya peraturan keterlambatan bagi dua pihak, yaitu antara mahasiswa dan dosen. Ketiga, diberlakukannya punishment, yang tentunya bersifat mendidik.
Kerugian yang ditimbulkan dari budaya jam karet harusnya disadari oleh mahasiswa maupun dosen. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat menghargai waktu guna menerapkan pendidikan kedisiplinan.

Oleh: Novita Nur ‘Inayah


Feature

Semangat Anak Si Mbah
Sosok M. Rikza Chamami M.S.I yang kerap kita temui di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang lahir dalam lingkungan keluarga miskin. Keluarga pembuat sandal desa krandon tersebut masih memegang teguh tradisi-tradisi lokal. Bayi kecil yang kala itu lahir tanggal 20 Maret 1980 itupun harus mengikuti budaya yang masih kental terjaga dalam desa tersebut. Rikza Chamami yang lahir pada hari kamis kliwon tersebut memiliki weton yang sama dengan ibundanya. Sementara itu, tradisi setempat mengharuskan seorang anak yang weton kelahirannya sama dengan ibunya, maka anak tersebut harus dibuang. Ibunda Rikza pun membuang Rikza kecil diatas engkrak  yang akhirnya ditemukan oleh simbahnya yang bernama Saudah. Secara hak asuh Rikza kecil jatuh pada saudah, namun hal itu tak mengurangi curahan kasih saying dari keluarganaya, pelukan hangat dari keluarga tercinta masih dapat ia rasakan.
Semanagat Rikza kecil kala itu sangat luar biasa. Kemauan kerasnya untuk selalu belajar ditunjukkan dengan senangnya Rikza mengikuti orang tuanaya ngaji, silaturahim, dan bahkan ziarah. Latar belakang keluarganya yang hanya membuat sandal membuat orang tuanya selalu mengajarkan sikap tirakat seperti hidup sederhana dan selalu peduli terhadap sesame. Ajaran tersebut selalu dipegang teguh oleh Rikza Chamami. Sehingga dalam menjalani kehidupannya ia memegang sebuah prinsip bahwa “miskin boleh-sukses harus”. Tak hentinya Rikza selalu berusaha, membuang jauh gengsinya dan selalu bersikap optimis. Prinsip serta semangat-semangat itulah yang menjadikan Rikza Chamami menjadi orang layaknya sekarang ini.

Pegawai Kantin, Keluhkan Tata Kelola Kantin



“Kantine Dhewe” begitulah tulisan besar yang terpampang didepan kantin Fakultas Tarbiyah, yang mahasiswa sering menyebutnya dengan kantin kompeni. Stereotip itu dilabelkan pada kantin yang dikelola oleh Dharmawanita karena harganya yang tidak bersahabat dengan kantong mahasiswa. “Terkait dengan harga kantin yang mahal, para pegawai tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya, pasalnya semua itu sudah ditentukan dari atasan”, ungkap Nah, salah satu pegawai kantin. Dia menjelaskan bahwa para pegawai kantin hanya bisa melakukan tugas mereka masing-masing. Walaupun demikian, hal itu tak menjadikan kantin itu sepi pengunjung. Bahkan kantin tersebut sangat ramai, pasalnya itu merupakan satu-satunya kantin yang berada di lingkungan fakultas Tarbiyah.
Beragam suka duka yang dilalui para pegawai kantin. “Dengan empat orang pegawai, kantin itu dibuka setiap hari senin sampai sabtu mulai pukul 07.00-16.00”, tutur Mini. Ibu 43 tahun ini mengatakan bahwa dirinya telah bekerja selama 4 tahun. Ternyata keluhan itu tak datang dari mahasiswa semata, para pekerjapun turut mengeluh. Para pekerja merasa gaji yang mereka dapat tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. “Jumlah pekerja hanya empat orang, dua orang sebagai juru masak dan dua orang lainnya mengurusi pekerjaan yang lain dari melayani pelanggan, menjaga kasir, sampai mencuci piring dan gelas”, tegas Mini. Dia menceritakan bahwa terkadang dirinya dan Nah sebagai juru masak ikut turun tangan membantu Heru dan Atok melayani pembeli.
“Sebenarnya sangat berat sekali ketika kami hanya berempat, idealnya ya enam orang”, ungkap Mini disela-sela kesibukannya menggoreng bakwan. Sempat beberapa kali dari pihak pegawai kantin mengajukan untuk menambah pegawai di kantin yang dikelola dharmawanita tersebut. Namun Faizah yang bertugas mengatur tata kelola keuangan, mengungkapkan bahwa pihaknya tidak sanggup menambah pegawai. “Mau dibayar pakai apa, kalau nambah pegawai”, tutur Mini menirukan Faizah ketika para pegawai kantin meminta untuk menambah pegawai.
Gaji yang mereka dapatkan hitungannya adalah harian, namun gaji bisa diambil bulanan. Jika satu hari tidak masuk kerja maka gaji merekapun dipotong satu hari. “Besarnya gaji antara pegawai satu dengan yang lain tidak sama”, ungkap Mini. Dia menjelaskan detail bahwa selaku juru masak dirinya mendapat Rp. 23.500,- sedangkan Nah Rp. 25.000,- per hari. Sementara Atok Rp. 22.500,- dan Heru Rp. 22.000,- perhari. “Para pegawai kantin sangat berharap adanya kenaikan gaji dan penambahan pegawai di kantin tersebut”, pungkas Nah.

Sengkarut Sistem UN


Ujian Nasional atau UN merupakan suatu bentuk isntrumen evaluasi yang berbentuk tes tulis. Evaluasi tersebut bertujuan sebagai alat ukur kemampuan peserta didik selama proses belajar. Diharapkan dengan adanya evaluasi yang berbentuk ujian berskala nasional dapat mengukur bagaimana perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan standar kelulusan yang tiap tahunnya meningkat, harapannya untuk meningkatkan kualitas peserta didik. Segala angan, harapan serta cita-cita bangsa ini sangat luhur sekali, terutama dalam memajukan dunia pendidikan, namun semua harapan itu jauh dari realita. Bagaimana tidak, UN yang seharusnya menjadi tolok ukur pendidkan di Indonesia justru menjadi momok yang paling menakutkan dikalangan peserta didik.
Bukan hanya peserta didik, yang dibuat resah karena UN, orangtua, guru dan pihak sekolahpun turut merasa cemas. Kecemasan itu timbul jika siswa di sekolah tersebut ada yang tidak lulus, sehingga menjadikan prestise sekolah tersebut anjlok. Imbasnya, daya tawar sekolah itu di masyarakat berkurang. Fenomena tersebut menjadikan sekolah melakukan berbagai usaha agar siswa dapat lulus 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan sekarang lebih mementingkan hasil daripada sebuah proses.
 Banyak sekali masalah dialami oleh para peserta didik yang gagal menghadapi UN. Mulai dari kasus stres, bahkan ada siswa yang nekat melakukan percobaan bunuh diri karena mengalami tekanan psikologis atas kegagalannya. Kasus-kasus semacam itu menjadi indikasi bahwa pelaksanaan UN yang notabene mengeluarkan dana yang hampir mencapai 600 miliar itu belum bisa memperbaiki tata kelola pendidikan di Indonesia. Belum siapnya SDM kita dengan sistem yang sedemikian rupa, sehingga UN dianggap hanya sebagai beban yang sangat berat, atau bahkan sebuah rintangan terjal yang harus mereka lalui ketika mereka ingin melanjutkan studi. Dengan anggapan-anggapan yang sedemikian rupa, maka akan sulit sekali mengembalikan tujuan diadakannya UN, yang tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.
Melihat rutinitas UN yang semakin carut-marut dari tiap tahunnya semakin menyangsikan kita sebenarnya ada apa dibalik UN? Sehingga rutinitas itu masih tetap dipertahankan dengan segala permasalahannya.  Bahkan kali ini bukan hanya masalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan. Kesiapan pemerintah untuk melaksanakan UN secara serempakpun gagal. Hal ini terlihat ketika Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal. Bukan hanya itu, keluhan-keluhan seperti rendahnya kualitas lembar jawaban UN, kurangnya naskah soal beserta lembar jawaban serta tertukarnya paket-paket soal, semakin menunjukkan bahwa pemerintah khususnya Kemendikbud telah menunjukkan kegagalannya dalam mengatur UN secara professional.
 Kemendikbud yang memegang tanggung jawab besar terhadap sektor pendidikan di Indonesia, harus melakukan evaluasi terkait pelaksanaan UN yang semakin kabur dari tujuan asalnya. Permasalahan teknis, konsep pelaksanaan UN serta penanganan yang professional setidaknya menjadi tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah jika ingin menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas.