Sengkarut Sistem UN


Ujian Nasional atau UN merupakan suatu bentuk isntrumen evaluasi yang berbentuk tes tulis. Evaluasi tersebut bertujuan sebagai alat ukur kemampuan peserta didik selama proses belajar. Diharapkan dengan adanya evaluasi yang berbentuk ujian berskala nasional dapat mengukur bagaimana perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan standar kelulusan yang tiap tahunnya meningkat, harapannya untuk meningkatkan kualitas peserta didik. Segala angan, harapan serta cita-cita bangsa ini sangat luhur sekali, terutama dalam memajukan dunia pendidikan, namun semua harapan itu jauh dari realita. Bagaimana tidak, UN yang seharusnya menjadi tolok ukur pendidkan di Indonesia justru menjadi momok yang paling menakutkan dikalangan peserta didik.
Bukan hanya peserta didik, yang dibuat resah karena UN, orangtua, guru dan pihak sekolahpun turut merasa cemas. Kecemasan itu timbul jika siswa di sekolah tersebut ada yang tidak lulus, sehingga menjadikan prestise sekolah tersebut anjlok. Imbasnya, daya tawar sekolah itu di masyarakat berkurang. Fenomena tersebut menjadikan sekolah melakukan berbagai usaha agar siswa dapat lulus 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan sekarang lebih mementingkan hasil daripada sebuah proses.
 Banyak sekali masalah dialami oleh para peserta didik yang gagal menghadapi UN. Mulai dari kasus stres, bahkan ada siswa yang nekat melakukan percobaan bunuh diri karena mengalami tekanan psikologis atas kegagalannya. Kasus-kasus semacam itu menjadi indikasi bahwa pelaksanaan UN yang notabene mengeluarkan dana yang hampir mencapai 600 miliar itu belum bisa memperbaiki tata kelola pendidikan di Indonesia. Belum siapnya SDM kita dengan sistem yang sedemikian rupa, sehingga UN dianggap hanya sebagai beban yang sangat berat, atau bahkan sebuah rintangan terjal yang harus mereka lalui ketika mereka ingin melanjutkan studi. Dengan anggapan-anggapan yang sedemikian rupa, maka akan sulit sekali mengembalikan tujuan diadakannya UN, yang tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.
Melihat rutinitas UN yang semakin carut-marut dari tiap tahunnya semakin menyangsikan kita sebenarnya ada apa dibalik UN? Sehingga rutinitas itu masih tetap dipertahankan dengan segala permasalahannya.  Bahkan kali ini bukan hanya masalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan. Kesiapan pemerintah untuk melaksanakan UN secara serempakpun gagal. Hal ini terlihat ketika Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal. Bukan hanya itu, keluhan-keluhan seperti rendahnya kualitas lembar jawaban UN, kurangnya naskah soal beserta lembar jawaban serta tertukarnya paket-paket soal, semakin menunjukkan bahwa pemerintah khususnya Kemendikbud telah menunjukkan kegagalannya dalam mengatur UN secara professional.
 Kemendikbud yang memegang tanggung jawab besar terhadap sektor pendidikan di Indonesia, harus melakukan evaluasi terkait pelaksanaan UN yang semakin kabur dari tujuan asalnya. Permasalahan teknis, konsep pelaksanaan UN serta penanganan yang professional setidaknya menjadi tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah jika ingin menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas.

Terjerat Asa



Aku ingin kencang berlari,
Ibarat  peluru yang keluar dari mulut senapan,
Aku ingin tegap menjejak,
Diantara bedil yang siap menembak,
Rintihanku,,asaku,,
Tak ujung diperjuangkan
Dimana para penguasa???
Yang kutemukan hanya  para penghianat
Tuanku,,bebaskan kami untuk berlari
Tuanku,,biarkan kami tegak menjejak
Menapaki bumi pertiwi yang kian gontai
Biarkan kami,,,,
Mengoyak dinding beku yang tak terjamah

Menghadirkan Wajah Islam Inklusif


Islam inklusif berpandangan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan tujuan yang sama yaitu kepada Allah. Hanya saja cara menuju kebenaran itu yang berbeda antara agama satu dengan agama yang lainnya.
Islam merupakan agama yang menghargai keberagaman dan mampu berkolaborasi dengan budaya lain, maka dari itu Islam dapat masuk dan membaur di berbagai Negara dengan berbagaimacam karakteristik budaya. Indonesia misalnya, dengan kultur masyarakat yang heterogen Islam berhasil dibawa oleh para wali dengan menggunakan cara yang arif ketika berdakwah. Dalam konteks ini tradisi Islam yang berada di Indonesia sangat berbeda dengan Islam dari Negara asalnya yaitu Arab. Islam ala Indonesia merupakan adopsi akulturasi budaya setempat, sehingga menjadikan Islam kita lebih bersifat fleksibel dan inklusif.
Islam inklusif menjadi sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama, tidak anti kritik, tidak menggunakan kekerasan, bersifat dialogis serta beritikad baik dalam menjalin hubungan dengan agama non muslim. Selain itu, Islam inklusif dalam melihat keberagaman selalu mengambil hal-hal yang baik. Dengan jalinan yang baik dalam hidup beragama akan memunculkan relasi sosial yang harmonis di lingkungan masyarakat. Teologi inklusif dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama.
Problematika Sosial
            Kerap kali kita jumpai berita di media cetak ataupun elektronik yang mengabarkan tentang kekerasan dalam beragama. Sebut saja kasus pembakaran gereja di Temanggung, kasus Ahmadiyah, kasus gereja di Bogor serta kasus sunni-syi’ah di Sampang. Semua kasus itu dengan mudahnya melenggang disela-sela kompleksitas permasalahan yang ada di Negara ini. Padahal, negara Indonesia dengan segala heterogenitasnya, telah rapi mengatur permasalahan kebebasan dalam memeluk agama. Kebebasan dalam beragama ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan adanya legitimasi yang kuat diharapkan Indonesia bisa menyemai perdamaian berbasis multikultural.
            Dalam kenyataannya semuanya jauh dari apa yang diharapkan, sikap intoleransi serta eksklusif masih menduduki ruang gerak yang cukup mapan sehingga membuat masyarakat bersifat kolot dan tidak mau membuka diri terhadap kebenaran-kebenaran baru. Akibatnya merasa paling benar menjadi pertaruhan wajib bagi tiap golongan. Implikasinya, perdamaian di Indonesia hanya menjadi sebuah utopia semata. Gesekan-gesekan antar golongan yang seharusnya mewarnai dinamika kehidupan, justru menjadi ajakan untuk berperang. Bagaimana  akan tercipta kerukunan umat? Bagaimana pula kita memajukan Indonesia yang berbasis multikultural?
            Sebagai mahasiswa dan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menjadi ujung tombak perjuangan rakyat tentunya tak hanya bisa diam menyaksikan berbagai problematika yang terjadi. Melihat pemerintah sudah terlalu antipati terhadap permasalahan sosial kita harus turut serta mencarikan langkah yang solutif guna mengurai permasalahan yang terjadi. Mengingat berbagai permasalahan terutama yang timbul dengan latar belakang agama membuat kita harus merevitalisasi pemahaman Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang inklusif, toleran serta rahmatan lil alamin.
Sikap Inklusif
            Dalam menegakkan kebenaran, kita harus melakukannya dengan cara yang benar pula. Artinya tidak menggunakan kekerasan, lebih bersikap terbuka dalam menerima kebenaran yang ada serta bersama-sama membangun masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Seperti peringai yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, sang revolusioner pembawa perubahan. Semua yang beliau lakukan memposisikan bahwa sesungguhnya Islam lebih berpotensi pada inklusifitas bukan eksklusifitas.
            Islam inklusif adalah memahami Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (pembawa berkah bagi seluruh alam), dalam hal ini diharapkan Islam mampu menjadi agama penebar kedamaian. Nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan dan kemanusiaan mengarahkan pada sikap inklusif tidak kepada eksklusifisme seperti membenci agama lain, merendahkan non muslim, atau memusuhi dan menggunakan kekerasan dalam menyebarkan kebenaran. Bahkan Islam inklusif mengajarkan toleransi beragama dan juga kerja sama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi dan melakukan aksi bersama.
            Bangunan relasi yang baik dengan agama lain, serta keterbukaan dalam menerima kebenaran (sesuatu yang baru) oleh umat muslim, diharapkan akan membawa perubahan pada umat Islam dalam menghadapi moderenitas. Seperti layaknya Islam zaman dulu yang menjadi sentrum peradaban dunia, Islam menjadi referensi utama dalam segala hal. Dengan sikap inklusif, bukan tak mungkin lagi Islam akan mengalami kejayaan seperti dahulu.
           

      


[1]Disampaikan saat Diskusi Bedah materi MAPABA dengan materi “KE-ISLAMAN”