Jam karet menjadi budaya laten yang harus dihilangkan, terutama
dalam dunia pendidikan di perguruann tinggi. Mahasiswa maupun dosen seharusnya
bisa menjadi contoh bagi bangsa ini dalam menerapkan pendidikan kedisiplinan.
Namun, seakan jauh dari apa yang diharapkan, budaya-budaya jam karet justru
masih berlaku di perguruan tinggi, yang seharusnya sudah khatam mengenai
pendidikan kedisiplinan.
Kedisiplinan tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, namun dosen juga
harus menerapkan, terutama dalam proses perkuliahan. Seringkali penerapan
kedisiplinan itu hanya berlaku pada satu pihak yaitu mahasiswa saja. Bahkan,
peraturan-peraturan keterlambatan itu diterapkan hanya untuk mahasiswa
sedangkan dosen tidak demikian. Misalnya, batas telat mahasiswa hanya 15 menit
selebihnya mahasiswa tidak dapat mengikuti perkuliahan. Dan dosen selaku yang
membuat peraturan, bebas kapan saja masuk kelas. Jika peraturan hanya searah,
tentu tidak mampu dijadikan solusi untuk mengurangi jam karet di sebuah lembaga
pendidikan. Fenomena seperti itu menunjukkan tidak adanya sinergitas yang baik
dalam membangun budaya disiplin.
Banyak kerugian yang ditimbulkan dari budaya jam karet terutama
dalam proses perkuliahan. Jika ada mahasiswa ataupun dosen yang terlambat, maka
hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi dalam proses belajar mengajar yang
awalnya sudah fokus mendiskusikan sebuah permasalahan di dalam kelas. Terlebih
lagi jika keterlambatan itu datang dari dosen maka hal tersebut semakin
menunjukkan bahwasanya dosen yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswanya
belum bisa menerapkan pendidikan kedisiplinan.
Untuk mengurangi budaya jam karet, patut diberlakukan beberapa strategi
untuk mengurangi keterlambatan. Pertama, harus ada kesadaran dari
masing-masing pihak terkait pentingnya waktu. Kedua, diberlakukannya
peraturan keterlambatan bagi dua pihak, yaitu antara mahasiswa dan dosen. Ketiga,
diberlakukannya punishment, yang tentunya bersifat mendidik.
Kerugian yang ditimbulkan dari budaya jam karet harusnya disadari
oleh mahasiswa maupun dosen. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat menghargai
waktu guna menerapkan pendidikan kedisiplinan.
Oleh: Novita Nur ‘Inayah